TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat perminyakan Kurtubi menilai Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) merugikan negara. Menurut Kurtubi Undang-undang tentang Minyak dan Gas Bumi menjadikan sistem perminyakan Indonesia sangat tidak efisien. "Menggiring terbukanya lubang inefisiensi yang sangat mengaga," kata Kurtubi sebagaimana tertulis dalam berkas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012. Menurut Kurtubi pengelolaan cost recovery oleh BP Migas sangat tidak efisien. Pemerintah harus menutup biaya investasi yang dikeluarkan perusahaan yang mengekploitasi dan memproduksi minyak dan gas bumi di Indonesia. Menurut data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang dikutip dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan, realisasi Cost Recovery tahun 2011 mencapai USD 11.3 miliar atau Rp 108 triliun. Pada 2012 cost recovery naik menjadi USD 12,3 atau Rp 118 triliun. "Kendati cost recovery terus meningkat, target lifting tak pernah tercapai," kata koordinator Fitra Uchok Sky Khaddafi. Kurtubi menyebut cost recovery juga rawan penggelembungan. Terlebih BP Migas berjalan tanpa adanya komisaris yang mengawasi kerja direksi. "Di dunia ini usaha tidak ada perusahaan yang hanya memiliki dewan direksi tanpa komisaris. BP Migas tidak memiliki alat mekanisme kontrol terhadap perusahaan," katanya. Soal penggelembungan cost recovery dijelaskan oleh ekonom Rizal Ramli. Modusnya perusahaan investor bisa menyertakan pengeluaran yang tak relevan dengan kegiatan eksplorasi minyak. "Misalnya biaya main golf dimasukan cost recovery, biaya headquarter masuk cost recovery," katanya.