Pasca-BBM Naik, BI Optimistis Peringkat Utang Membaik
Reporter
Editor
Sabtu, 28 April 2012 16:20 WIB
TEMPO/Nita Dian
TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia menilai tidak ada alasan untuk tidak menaikkan peringkat Indonesia menjadi layak investasi. "Saya optimis dengan langkah Presiden terkait pengendalian BBM yang akan ditindaklanjuti di bulan Mei. Dalam review, kembali Standard and Poor's akan menaikkan," ujar peneliti utama Biro Riset Ekonomi Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Juda Agung, dalam Pelatihan Moneter di Bank Indonesia, Sabtu, 28 April 2012. (baca: BI: Peringkat Utang Indonesia Layak Lebih Tinggi)
Sebelumnya, lembaga pemeringkat internasional, Standard and Poor's (S&P), menahan peringkat Indonesia selevel di bawah layak investasi. Meski begitu, S&P tetap memberikan outlook positif. Ini mencerminkan kemungkinan upgrade.
S&P memberi catatan, apabila pertumbuhan ekonomi dapat terus meningkat, pasar keuangan semakin dalam dan penerapan kebijakan terukur (ada kepastian)--salah satunya terkait kebijakan BBM--Indonesia bakal naik peringkat. baca: S&P: Peringkat Utang Indonesia Tetap
Juda memaparkan harga minyak mentah (petroleum) per Februari 2012 naik 15,4 persen (YOY). Harga ICP pada Februari mencapai US$ 128,1 per barel. "Langkah pengendalian (pembatasan dan konversi minyak ke gas) harus segera dilakukan," ujarnya.
Utang Pemerintah Rp 8.253 Triliun Diklaim Aman, Politikus PKS: Beban Bunga Meningkat
57 hari lalu
Utang Pemerintah Rp 8.253 Triliun Diklaim Aman, Politikus PKS: Beban Bunga Meningkat
Anggota Komisi XI DPR, Ecky Awal Mucharam, menyoroti utang pemerintah sebesar Rp 8.253 triliun per 31 Januari 2024 yang disebut aman oleh Kementerian Keuangan.
Kemenkeu Sebut Utang Pemerintah Rp 8.253 Triliun Masih Aman, Ekonom: Tidak Cukup Lihat dari Rasio terhadap PDB
57 hari lalu
Kemenkeu Sebut Utang Pemerintah Rp 8.253 Triliun Masih Aman, Ekonom: Tidak Cukup Lihat dari Rasio terhadap PDB
Kemenkeu menyebutkan utang pemerintah sebesar Rp 8.253 triliun masih dalam rasio aman, karena di bawah ambang batas 60 persen PDB. Bagaimana pendapat ekonom?