TEMPO Interaktif,
Jakarta: Penetapan besarnya pesangon karyawan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) harus memenuhi rasa keadilan masyarakat. Menurut praktisi manajemen Rhenald Khasali, pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan pesangon bagi 2.500 karyawan BPPN seiring dengan berakhirnya masa tugas lembaga tersebut 27 Februari mendatang.“Pemerintah harus
wise menetapkan pesangon karyawan BPPN, paling tidak sedikit melebihi masa kerjanya,” kata Rhenald kepada
Tempo News Room melalui telepon, Selasa (20/1) sore. Embel-embel “sedikit melebihi” masa kerja karyawan dinilainya penting karena BPPN dari awal dirancang untuk tidak terlalu lama masa kerjanya. Karyawan BPPN paling lama bekerja selama lima tahun yakni sejak tahun 1999 sampai 2004. Selain itu, menurut Rhenald, para karyawan BPPN menanggung risiko yang amat besar selama masa kerja mereka. “Ada beberapa yang sampai menerima ancaman, diteror rumahnya, karena mengurusi aset-aset perusahaan bermasalah,” katanya. Meski begitu ia tidak bisa menetapkan apakah penyusunan pesangon sesuai UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah layak atau tidak. BPPN disebutkan telah menyiapkan dana maksimal sebesar Rp 500 miliar bagi 1.600 karyawan tetap dan 900 karyawan kontrak yang akan diberhentikan bersamaan itu. Mengenai besaran dana pesangon itu, Rhenald menyebutkan meski ia belum mengetahui besaran uang yang akan diterima tiap orangnya, tidak setiap orang akan mendapat prosi yang layak. “Tapi saya juga tidak menutup mata bahwa ada orang-orang BPPN yang berfoya-foya selama menjadi komisaris di beberapa perusahaan yang menjadi asuhan BPPN,” kata dia. Namun menurutnya, orang-orang semacam itu sudah tidak ada lagi semenjak tampuk kepemimpinan Kepala BPPN dipegang Syafruddin Temenggung. “Jadi bolehlah ada penghargaan atas jasa-jasa mereka merapikan sejumlah perusahaan,” kata Rhenald. Besaran pesangonnya kembali kepada kebijakan pemerintah sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku. “Bagaimanapun pemerintah harus legowo, karena masalah ini sedang menjadi sorotan masyarakat,” kata dia.Apalagi, papar dia, kasus ini hampir bersamaan dengan tarik menarik antara manajemen PT. Dirgantara Indonesia yang akan melakukan pemutusan hubungan kerja kepada 6.600 karyawannya. Meski begitu, Rhenald menyikapi hasil kerja BPPN dengan baik. “Coba untuk berpikir positif ya, ekonomi Indonesia pun membaik sekarang,” kata dia. Ke depan pun, menurut Rhenald,
fix asset yang sudah ada mulai bangkit, properti pun mulai tumbuh lagi. “Kapasitas terpasang yang ada dimaksimalkan,” katanya. Jadi tidak seharusnya, penutupan BPPN yang membawa konsekuensi penyiapan sejumlah pesangon disikapi dengan negatif.Menurut Rhenald, penghitungan itu biasanya dihitung dari gaji pokok. “Bukan dari
take home pay loh, kalau begitu jumlah pesangonnya besar sekali,” kata dia. Penghitungan pesangon ini secara normatif harus memperhitungkan masa kerja. “Namun terkadang untuk kasus-kasus tertentu, harus memperhitungkan pertimbangan politis, pemerintah punya dana atau tidak untuk itu, dan sebagainya,” jelas Rhenald. Secara normatif, misalnya untuk pegawai dengan masa kerja 1 tahun harus mendapat 10 kali dari gaji pokok. Namun kalau pemerintah tidak punya uang, jelas dia, ya berarti jumlahnya tidak bisa sebanyak itu. Selain itu kasus seperti PT. DI yang mendapat sorotan besar dengan perjuangan sejumlah karyawannya untuk mendapat pesangon yang layak, mungkin membuat pemerintah mengambil putusan berbeda dari yang digariskan UU. “Seperti memberi pesangon dua kali dari seharusnya misalnya,” kata dia.Sementara itu, untuk pengukuran penggajian karyawan yang menjadi dasarnya adalah fungsi produktivitas. “Semakin produktif seseorang, semakin besar gaji yang diperoleh,” urai Rhenald. Tidak hanya ukuran produktivitas, tapi juga keahlian, kompetensi langka yang dimiliki seseorang seperti pemahaman mengenai hukum akuisisi, merger menjadi pertimbangan sistem penggajian. “Juga tingkat tekanan karyawan di tempat kerja juga dipengaruhi,” jelas dia.BPPN sebagai institusi yang diberi mandat menyehatkan sejumlah bank dan juga sistem perbankan di Indonesia, menurut Rhenald, karyawannya dituntut menghasilkan
output yang sangat besar. “Pengorbanan karyawan besar selain juga ada tuntutan efisiensi,” jelas dia.Beberapa contoh besaran gaji sejumlah karyawan BPPN, dinilai Rhenald masih terlalu kecil dibandingkan tugas yang harus diemban mereka. “Masih kecil tuh, padahal persoalan yang harus ditangani besar, resiko besar, aset yang dikelola mereka besar belum sebanding dengan eksekutif di bidang lain,” kata dia. Berdasarkan data yang diterima
Tempo News Room sebelumnya, gaji pokok dan seluruh tunjangan (take home pay) yang diterima Kepala BPPN Syafruddin Temenggung pada bulan Maret sebesar Rp 130 juta. Dalam wawancara dengan Majalah Tempo beberapa waktu lalu, dia mengatakan jumlahnya sebanding dengan direktur utama Bank Danamon.Menyinggung mengenai jumlah yang diterima Syafruddin misalnya, Rhenald menyatakan masih jauh dari eksekutif di sebuah perusahaan konglomerasi. “Sekitar 500 juta setahu saya untuk eksekutif sekelas dia yang hanya memegang satu perusahaan, sedang di BPPN banyak yang harus ditangani,” kata dia. Namun semuanya kembali pada kebijakan pemerintah untuk menyikapi persoalan ini. Meski apa yang akan diterima karyawan BPPN dinilai sudah sewajarnya, bahkan bisa lebih lagi, Rhenald menyatakan jangan sampai memancing kecemburuan masyarakat.
Anastasya Andriarti - Tempo News Room