Suasana di sebuah SPBU di Jakarta (13/1). Pemerintah akan menaikkan anggaran subsidi energi untuk bahan bakar minyak, LPG, dan bahan bakar nabati, dari Rp 68,7 triliun menjadi Rp 28,1 triliun. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai telat memutuskan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Menurut Wakil Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Harry Azhar Aziz, kenaikan harga minyak seharusnya telah dilakukan dua tahun lalu. “Jika pada 2010 harga BBM naik, tentu masyarakat lebih ringan menghadapi dampaknya,” ujarnya kepada Tempo, Kamis, 23 Februari 2012.
Pemerintah, ujar Harry, selalu terlambat dalam merumuskan kebijakan bahan bakar. Menurut dia, hal ini akibat Presiden terlalu mempertimbangkan kondisi sosial-politik. Pemerintah juga seperti ketakutan berhadapan dengan kalangan yang bakal memprotes kenaikan harga. Padahal budaya subsidi harus dihilangkan dalam manajemen bahan bakar minyak. “Ini budaya Orde Baru,” kata dia.
Pengamat perminyakan Kurtubi menyatakan ruang untuk menaikkan harga minyak bersubsidi sudah diberikan DPR sejak dua tahun lalu. “Dalam APBN disebutkan, (harga) BBM boleh naik jika rata-rata harga minyak mentah Indonesia di atas 10 persen patokan APBN,” ujarnya. Tapi, kata Kurtubi, pemerintah malah mewacanakan pembatasan konsumsi bahan bakar. “Faktanya, rencana ini juga tak pernah dijalankan.”