TEMPO Interaktif, Jakarta - Penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan minyak dan gas asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP), tentang penyelesaian ganti rugi akibat kebocoran minyak mentah di Laut Timor terancam mundur.
Pasalnya, hingga saat ini kedua belah pihak masih berkeras pada pendiriannya masing-masing. Executive Vice President PTTEP, Luechai Wongsirasawad, memaparkan pihaknya belum menemukan adanya bukti terjadinya pencemaran dan kerusakan sumber daya alam di teritorial laut Indonesia.
"Sampai saat ini memang tidak ada kerusakan, kecuali Pemerintah Indonesia dapat memberikan bukti ilmiah terkait hal tersebut," ujar Luechai ketika bertandang ke kantor Tempo, Selasa, 13 September 2011.
Dia menjelaskan, tidak ada tenggat waktu untuk penandatanganan MOU penyelesaian kasus Montara. Namun, pemerintah mengharapkan MOU tersebut dapat ditandatangani setidaknya pada akhir bulan ini. "Kami juga akan berusaha agar MOU sudah dapat ditandatangani sesuai harapan pemerintah."
Rancangan untuk nota kesepahaman tersebut sebenarnya telah selesai. Nota lebih berisi ke soal-soal teknis mengenai penyelesaian masalah, seperti mekanisme pembayaran ganti rugi dan keterlibatan pihak ketiga untuk mengklarifkasi secara objektif mengenai dampak kerusakan akibat kebocoran minyak.
Pihak ketiga diusulkan oleh PTTEP karena sampai saat ini belum ada kata sepakat antara PTTEP dan pemerintah mengenai dampak kerusakan lingkungan. Padahal, klarifikasi soal kerusakan lingkungan tersebut merupakan tahap pertama dari tiga tahapan penyelesaian kasus Montara. "Kami mentok di tahap pertama, maka kami putuskan untuk melibatkan pihak ketiga," ujar dia.
Masalah kemudian kembali muncul. Pemerintah Thailand selaku pemilik PTTEP meminta perusahaan minyak tersebut mempertimbangkan soal keterlibatan pihak ketiga. "Karena pemerintahan kami, kan, baru. Jadi, kami harus menjelaskan lagi ke pemerintah," ujarnya.
Luechai menegaskan PTTEP tetap mencoba meyakinkan Pemerintah Thailand soal keterlibatan pihak ketiga ini. "Karena sulit kalau tidak ada pihak ketiga, kesepakatan akan buntu di tahap klarifikasi pencemaran."
Sayangnya, belum ada pembahasan lebih lanjut mengenai pihak ketiga yang akan ditunjuk para pihak untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hasil dari pihak ketiga nantinya akan dijadikan dasar oleh PTTEP untuk membayar ganti rugi kepada pemerintah. "Berapa pun besarannya tidak masalah, selama buktinya benar-benar ilmiah dan dapat disepakati," tutur Luechai.
GUSTIDHA BUDIARTIE
Berita terkait
Korupsi Timah: Aturan Rujukan Penghitungan Kerugian Negara Rp 271 Triliun
23 hari lalu
Kasus dugaan korupsi di PT Timah, yang melibatkan 16 tersangka, diduga merugikan negara sampai Rp271 triliun. Terbesar akibat kerusakan lingkungan.
Baca SelengkapnyaKonflik Buaya dan Manusia di Bangka Belitung Meningkat Akibat Ekspansi Tambang Timah
55 hari lalu
BKSDA Sumatera Selatan mencatat sebanyak 127 kasus konflik buaya dan manusia terjadi di Bangka Belitung dalam lima tahun terakhir.
Baca SelengkapnyaWalhi Beberkan Kerusakan Lingkungan Akibat Hilirisasi Nikel di Maluku Utara: Air Sungai Terkontaminasi hingga..
29 Januari 2024
Walhi mengungkapkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan hilirisasi industri nikel di Maluku Utara.
Baca SelengkapnyaPenelitian Sebut Industri Nikel Merusak Hutan dan Lingkungan Indonesia
24 Januari 2024
Penelitian menyebutkan aktivitas industri nikel di Indonesia menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan secara masif.
Baca SelengkapnyaGreenpeace Kritik Gibran Glorifikasi Hilirisasi Nikel Jokowi: Faktanya Merusak Lingkungan
23 Januari 2024
Greenpeace mengkritik Gibran yang mengglorifikasi program hilirisasi nikel Presiden Jokowi. Industri ini dinilai banyak merusak lingkungan.
Baca SelengkapnyaDi Debat Cawapres, Mahfud Kutip Surat Ar-Rum Ayat 41 Ingatkan Soal Kerusakan Alam
21 Januari 2024
Dalam debat cawapres, calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud Md mengatakan kerusakan alam di bumi terjadi karena tingkah laku manusia.
Baca SelengkapnyaTKN Prabowo-Gibran Bilang Perusahaan Perusak Lingkungan Harus Dihukum Seberat-beratnya
21 Januari 2024
Menurut Budisatrio Djiwandono, Prabowo-Gibran akan memberikan hukuman berat kepada pihak yang merusak alam.
Baca SelengkapnyaKarhutla di Gunung Arjuna Capai 4.000 Hektare, Diduga Ulah Pemburu
8 September 2023
Karhutla di Gunung Arjuna dan sekitarnya pertama kali terpantau muncul di kawasan Bukit Budug Asu, pada Sabtu, 26 Agustus lalu.
Baca SelengkapnyaWalhi Sebut Pidato Kenegaraan Jokowi Dorong Kerusakan Lingkungan
17 Agustus 2023
Aulia menilai pidato Presiden Jokowi sangat mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap padat modal.
Baca SelengkapnyaKerusakan Lingkungan di IKN Nusantara Berpotensi Meluas
1 Juli 2023
Berbagai proyek infrastruktur IKN Nusantara memperparah kerusakan lingkungan di lokasi ibu kota baru itu ataupun di area sekitarnya
Baca Selengkapnya