“Dalam laporan keuangan BI dikatakan ada tambahan BLBI sejak 29 Januari sampai 24 Mei 1999. Apakah benar itu jumlahnya Rp 14,4 triliun dan apakah itu untuk BLBI, kita belum memeriksanya karena justru itu menjadi pertanyaan bagi kita,” kata Bambang Wahyudi, anggota Pembina Auditoriat Utama Keuangan Negara II BPK, kepada pers di Jakarta, Jumat (18/5) siang.
Ketua BPK, Satrio ‘Billy’ Joedono, membenarkan pernyataan Bambang. Billy menjelaskan, tahun lalu BPK sudah mengaudit laporan keuangan BI sampai 29 Januari 1999. Hasil audit ini menghasilkan dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun. Dalam jangka waktu lima bulan, setelah 29 Januari, BI ternyata mengucurkan lagi BLBI tambahan dan mencatatnya sebagai kekayaan yang berupa tagihan kepada pemerintah.
Pemerintah, dalam hal ini menteri keuangan, memang menerbitkan surat utang. Tapi, diberi catatan: masih perlu verifikasi. “Karena Menkeu pun meminta agar diverifikasi, kita memiliki kesan bahwa Menkeu pun belum yakin bahwa utangnya kepada BI sebesar itu,” kata Billy. Dan, auditorpun mencatat dana Rp 14,4 T itu sebagai ‘kekayaan’ yang belum pasti.
Sampai saat ini masih belum diputuskan siapa yang nanti menanggung tambahan BLBI itu. Apakah seluruhnya akan ditanggung oleh pemerintah atau akan di’bagi’ lagi dengan BI lewat skenario burden sharing seperti dulu. Bambang dan Billy sepakat, kalau nanti setelah verifikasi dana Rp 14,4 T ini diakui sebagai BLBI, BI dan pemerintah harus mengulang lagi burden sharing melalui DPR seperti tahun lalu. (Febrina Siahaan)