Dirjen Lembaga Keuangan Depkeu, Darmin Nasution, usai mengadakan pertemuan, mengatakan, pertemuan ini sifatnya masih pembahasan awal. Jadi, masih akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Darmin mengatakan, masalah utama yang dibahas siang ini adalah dampak melemahnya rupiah terhadap kinerja bank. Sempat juga disinggung hal-hal apa yang akan terjadi jika tingkat suku bunga naik lalu langkah-langkah apa yang sebaiknya dilakukan perbankan untuk membantu sektor riil.
Kebijakan Bank Indonesia yang menerapkan target base money untuk mengendalikan inflasi dan nilai tukar rupiah, menurut Darmin juga akan menjadi bahan diskusi untuk pertemuan serupa berikutnya. Dengan memasang target di base money, “tingkat bunga inflasi bisa meningkat dengan cepat,”katanya.
Ditempat terpisah, Komisaris Bank Global Int. Tbk, Rijanto, kepada TEMPO Interaktif, mengakui bahwa dunia perbankan saat ini memang sedang mengalami kesulitan. Masalah yang dihadapi masih tetap sekitar Non Performing Loan atau kredit macet. Untuk menanggulangi masalah itu, kata dia, sebenarnya cara yang paling ampuh adalah dengan mengucurkan kredit baru. “Masalahnya dengan kondisi sekarang ini, mana ada bank yang berani memberikan kredit ke sektor riil,”katanya.
Rijanto juga mengeluhkan adanya peraturan baru dari BI yang mengharuskan bank-bank devisa menaikkan batas minimum modal menjadi Rp 150 miliar per September 2001. Jika batasan ini tidak bisa dipenuhi, maka izin ‘devisa’nya akan dicabut. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk menaikkan CAR bank-bank tersebut. Anehnya, “koq bank-bank yang CAR-nya sudah 30% keatas tetap dikenakan juga,”kata dia. Salah satu bank yang dikenai peraturan tsb adalah Bank Global, yang CAR-nya diatas 50 persen. Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah, untuk menolong dunia perbankan adalah dengan pembelian kredit outsourcing dari BPPN. “Tidak usah besar-besaran, yang penting loan yang sudah direstruktur oleh BPPN dijual kepada perbankan. Tidak melulu melalui cash, bisa saja dengan bond (surat berharga),”kata Darmin Nasution, siang tadi.
Rijanto, yang dihubungi TI via telepon, sependapat dengan Darmin. Masalahnya, tidak semua kredit outsourcing itu ‘aman’ dari ancaman kredit macet. “Sekarang sih bisa saja kredit-kredit itu kondisinya bagus, tapi dengan kondisi makro seperti ini, apa bisa bertahan sampai 6 bulan lagi,”kata Rijanto. Dengan perkiraan nilai tukar rupiah masih tetap berfluktuasi, menurut dia, kredit outsourcing yang menggiurkan adalah kredit berorientasi ekspor dan retail. (Febrina S)