Keinginan IMF ini, kata Rizal, tidak ada kaitannya dengan butir-butir kesepakatan Letter of Intent (LoI) sebelumnya. “Jadi saudara bisa lihat kan, keinginan IMF selalu berubah-ubah,” ujarnya.
Begitu pun, Rizal mengaku memaklumi keinginan lembaga ini. Karena, sebenarnya, pemerintah juga sering merasa khawatir. “Apabila daerah dibebaskan meminjam dana, maka mereka akan jor-joran,” katanya. Dan, dikhawatirkan, daerah-daerah belum memiliki kemampuan untuk melunasi utang tersebut. Buntutnya, yang kerepotan adalah pemerintah pusat.
Untuk menanggapi keinginan IMF ini, Depkeu dan BI akan segera mengirim surat edaran ke seluruh BPD dan bank komersial di daerah agar jangan dulu memberikan kredit ke Pemda sampai ada kebijakan moneter yang jelas tentang hal tersebut.
Hal kedua yang juga mendapat sorotan tajam IMF adalah amandemen UU bank sentral. Menurut Rizal, ada beberapa poin penting yang tidak mereka setujui dalam pasal-pasal amendemen. Misalnya soal izin dari pemerintah kepada BI untuk membeli surat-surat berharga dari pemerintah di pasar primer. IMF ingin agar pemerintah melarang BI, bukannya memberi izin.
Menanggapi kekhawatiran lembaga donor ini, Rizal yang bertemu Direktur IMF, Stanley Fisher di Daffos, Jerman, mengaku tidak risau. Ia bahkan mengingatkan Fisher, bahwa pemerintah Indonesia sekarang tidak sama dengan zaman Orde Baru yang otoriter dan semua kebijakannya harus dituruti. Kedua poin tersebut, katanya, masih dalam tahap pembahasan dan belum final. Dan Fisher, menurut Menko, menerima penjelasannya.
Target yang diberikan IMF kepada pemerintah sendiri, seperti yang dijelaskan Rizal, sudah hampir semuanya dipenuhi. Bahkan banyak yang melampaui target. Contohnya, hasil penjualan aset di BPPN yang mencapai Rp 20,7 triliun. Ini melebihi target yang sebesar Rp 18,9 triliun. Atau soal restrukturisasi utang luar negeri. Sesuai kesepakatan targetnya sebesar US$ 8 miliar. Tapi faktanya pemerintah berhasil merestrukturisasi utang swasta luar negeri sebesar US$ 9,5 milyar. Pemerintah juga berhasil merestrukturisasi 14 ribu kredit usaha menengah, yang pinjamannya di bawah Rp 5 miliar.
Dalam kunjungan ke Daffos pekan lalu, tim ekonomi juga melobi beberapa perusahaan Jerman dan Belanda untuk meningkatkan perdagangan dengan Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya resesi ekonomi di Amerika Serikat, yang selama ini menjadi pasar ekspor utama Indonesia.
Menurut Rizal, pemerintah dan perusahaan-perusahaan Jerman serta Belanda juga setuju untuk mejadi fasilitator hubungan dagang Indonesia dengan negara Eropa lainnya. Fungsi fasilitator ini diwujudkan antara lain melalui pembangunan infrastruktur dan kerjasama dengan BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional) Indonesia. (Febrina S)