TEMPO Interaktif,
Jakarta:Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengeluarkan buku putih tentang proses privatisasi Indosat. Buku ini dibagikan pada wartawan di Hotel Novotel, Bogor, oleh para pejabat kementerian ini, Minggu (2/2) . Selain menjelaskan proses penjualan saham pemerintah di PT Indosat secara kronologis, buku ini juga memberikan penjelasan sebagai jawaban atas munculnya berbagai isu miring seputar divestasi ini. Isu-isu yang coba dijawab antara yaitu mengenai adanya special purpose vehicle atau SPV oleh Singapore Telemedia Limited (STT) melalui Indonesia Communications Limited (ICL), dalam transaksi akuisisi Indosat. Menurut buku ini, penggunaan SPV dalam transaksi serupa bukan hal yang luar biasa. Tujuannya untuk memisahkan suatu uniot usaha dalam sebuah grup dalam hal pendanaan maupun perencanaan pajaknya. Selain itu, penggunaan ICL sebagai kendaraan investasi oleh perusahaan Singapura itu dikatakan telah diinformasikan pada penasehat keuangan dalam proses divbestasi ini sejak dalam tahap penawaran awal. Apalagi, katanya, langkah sejenis, yakni menggunakan SPV yang berkedudukan di Mauritius, juga akan dilakukan oleh para penawar lainnya. Kementerian BUMN juga membantah adanya dana yang hilang atau tidak tercatat yang digunakan sebagai komisi pada pihak tertentu atas hasil penjualan saham negara. Total hasil penjualan atas 41,94 persen saham itu 627,354 juta dolar AS. Tetapi yang disetor ke rekening pemerintah baru 583,414 juta dolar, setelah dikurangi biaya konsultan dan transaksi lainnya sebesar 18,94 juta dolar AS. Sedangkan selisih 25 juta dolar lagi masih berada di rekening penampungan berdasarkan perjanjian escrow. Uang itu baru akan disetor ke rekening pemerintah setelah selesainya pengesahan perubahan anggaran Indosat. Sedangkan mengenai bisnis Indosat, dikatakan oleh Sekretaris Kementerian BUMN Bacelius Ruru, merupakan sunset bisnis. Artinya sudah ketinggalan zaman karena perkembangan teknologi informasi yang cepat seperti munculnya teknologi internet yang bisa mentransfer suara seperti telepon (VoIP), dan perubahan regulasi. Sedangkan Indosat masih jualan pulsa. Teknologi sambungan langsung telepon internasional (SLI) sudah sekarat, katanya. Hal yang sama diucapkan oleh pengamat ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri yang juga hadir dalam acara itu. Kalau tidak dijual, pasti mati sendiri, ujarnya. Sebab, katanya, kita tidak mungkin bisa bersaing dengan para penyedia jasa komunikasi yang telah memiliki kemampuan teknis jauh lebih canggih. Oleh karena itu Indosat ke depan akan lebih bertumpu pada bisnis seluler yang dipandang masih potensial. Soal kemananan juga diberi penjelasan. Bahwa dengan dibelinya Indosat, tak akan berdampak pada hal itu karena satu-satunya satelit yang dimiliki Indosat melalui Satelindo hanyalah Palapa C-2. Sedangkan satelit ini tidak digunakan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan maupun TNI dan POLRI. Tetapi satelit ini disewakan untuk kepentingan siaran televisi domestik dan regional. Ini benar-benar isu gombal, kata Faisal, yang menduga sengaja dikeluarkan pihak yang merasa rugi dan para politisi yang merasa tak kebagian rezeki. Kekhawatiran adanya potensi monopoli pasar telekomunikasi oleh pelaku asing juga dibantah. Dengan alasan bahwa bisnis ini merupakan industri yang sarat regulasi dan masih sangat terbukanya potensi pasar. Mereka percaya bahwa pemilikan 67 persen saham oleh Temasek di Sing Tel yang menguasai STT, sekaligus memiliki 35 persen saham di Telkomsel, tidak akan berakibat pada monopoli pasar seluler di Indonesia. Karena, bahkan di Singapura sendiri mereka dikelola oleh manajemen yang berbeda dan berkompetisi bebas di bisnis yang sama. Meskipun setuju pada privatisasi, ekonom INDEF Aviliani masih melihat beberapa kejanggalan dalam proses divestasi Indosat, termasuk rendahnya nilai penjualan. Ia juga mengkhawatirkan rendahnya komitmen pemilik Indosat yang baru untuk membangun infrastruktur telepon tetap di daerah miskin dan terpencil. Fungsi publik dan tanggungjawab negara masih tinggi di bisnis ini, katanya. Untuk kasus Indosat, Aviliani masih melihat adanya alternatif selain menjualnya. Misalnya dengan sistem manajemen kontrak. Hadir dalam acara itu antara lain Sekretaris Kementrian BUMN Bacelius Ruru dan para asisten deputi menteri, , konsultan dari PricewaterhouseCoopers, dan tim dari Asian Development Bank.
Y. Tomi Aryanto Tempo News Room