Untuk kontrak yang sama kemarin, harga minyak betah bertengger di US$ 71,10 per barel, setelah dolar AS melemah terhadap euro dan harga emas melampaui US4 1.000 per ounce untuk pertama kalinya sejak Februari.
Di London, harga minyak Brent juga turun US$ 9 sen ke US$ 69,33 per barel.
Para investor memborong minyak, emas, dan komoditas lainnya untuk lindung nilai dari melemahnya dolar AS dan inflasi. “Orang menjual dolar AS untuk membeli mata uang yang memiliki yield tinggi. Ini yang memicu kenaikan harga minyak,” kata Christoffer Moltke-Leth, Head of Sales Trading Saxo Capital Markets di Singapura.
Menurut Moltke-Leth, pasar kini harus mencermati pergerakan nilai tukar dolar AS dan harga minyak. “Jika harga minyak bisa menembus ke level US$ 74 per barel, maka dalam waktu tidak terlalu lama harga itu bisa menembus ke US$ 80 atau US$ 85 per barel,” ujarnya.
Investor saat ini juga tengah menanti keputusan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang tengah bertemu di Wina, Austria. Negara-negara yang tergabung dalam organisasi ini memproduksi 40 persen dari total produksi minyak dunia. OPEC diperkirakan akan tetap mempertahankan kuota produksi.
Analis Ekonomi Samuel Sekuritas Indonesia, Lana Soelistianingsih, memperkirakan harga minyak mentah akan relatif tertahan di maksimum US$ 75-80 per barel hingga akhir tahun ini.
“Harga itu dianggap merupakan harga yang wajar untuk ikut membantu pemulihan ekonomi,” kata Lana dalam analisis mingguan Samuel Sekuritas yang diperoleh Tempo di Jakarta hari ini.
AP | GRACE S GANDHI