TEMPO Interaktif, Jakarta:Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati kenaikan tarif telepon sebesar 15 persen pada akhir Januari 2002. Kenaikan tersebut, menurut Menteri Perhubungan Agum Gumelar, merupakan tahap pertama dari kenaikan total sebesar 45,15 persen yang akan dilakukan secara bertahap selama tiga tahun. Pihaknya, kata Agum, akan mengkaji formula kenaikan tersebut secara bertahap. “Statement keputusan menteri akan keluar menyangkut formula kenaikan tarif ini,” ujar Agum kepada pers di sela-sela rapat kerja yang dilakukan jajarannya bersama dengan komisi IV DPR RI di Gedung DPR/MPR, Rabu (23/1) siang. Disadarinya, tindakan menaikkan tarif disaat perekonomian Indonesia tengah porak-poranda adalah tidak populer. Karena akan membebani masyarakat. “Tapi kita pertimbangkan lagi, kalau tarif ini tidak dinaikkan maka investasi tidak akan masuk. Padahal kita perlu investasi untuk membangun jaringan telekomunikasi kita yang terbelakang di negara Asean,” kata Agum beralasan. Dengan kenaikan tersebut, Departemen Perhubungan telah merencanakan untuk membangun 2 juta lebih Sambungan Saluran Telekomunikasi (SST). Untuk itu ia melanjutkan diperlukan biaya sekitar US $ 2 miliar atau setara dengan Rp 20 triliun. “Memang ada yang mengatakan bahwa Telkom sudah untung dengan tarif yang ada sekarang ini, tetapi Telkom ini tidak bisa membangun jaringan telekomunikasi sesuai dengan jumlah masyarakat,” jelas Agum. Keuntungan yang ada sekarang, menurut Agum, hanya bisa untuk membangun sekitar seratus ribu SST pertahun. “Jadi sangat tidak memenuhi tuntutan masyarakat,” katanya. (Wuragil-Tempo News Room)
Berita terkait
Palestina: Tidak Ada Guna Membahas Gaza di PBB
11 menit lalu
Palestina: Tidak Ada Guna Membahas Gaza di PBB
Dubes Palestina untuk Austria menilai upaya membahas Gaza pada forum PBB tidak akan berdampak pada kebijakan AS dan Eropa yang mendanai genosida.