TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi Terbarukan, Halim Kalla, mengatakan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) terkendala dua hal. "Harga dan kebijakan," katanya saat berkunjung ke kantor Tempo, Rabu, 18 Januari 2017.
Baca : Proyeksi 2017, Harga Komoditas Energi Makin Melambung
Halim mengatakan pemerintah masih berkutat menentukan harga jual listrik dari energi baru dan terbarukan. Sebelumnya harga jual dipatok 15-18 sen per kWh. Namun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignatius Jonan ingin mengkaji kembali semua feed in tarif yang telah ditentukan. Padahal, Halim menilai tarif tersebut sudah terhitung wajar.
Salah satu pertimbangan revisi adalah harga jual listrik EBT di Uni Emirat Arab (UEA). Di sana, harga jual dipatok 2,25-2,99 sen per kWh.
Baca : Target PNPB Minerba Tahun Depan Dinilai Terlalu Tinggi
Menurut Halim, perbandingan tersebut tidak setara. Harga jual listrik yang rendah di UEA bisa didapat karena pembangunan pembangkit EBT di sana lebih mudah. "Tanah mereka disediakan, listrik juga tinggal ambil," katanya.
Sementara di Indonesia, infrastruktur beberapa daerah belum mendukung kemudahan investasi, seperti akses terpencil hingga jalan yang rusak. Selain itu, pemerintah tidak menjamin lahan dan listrik sebagai penunjung penting pembangunan pembangkit.
Halim mengatakan pemerintah perlu memberikan subsidi agar harga bisa menguntungkan dari sisi pengusaha dan pemerintah. Ia optimistis harga tak akan selamanya tinggi. "Sekarang EBT di sini masih baby. Nanti kalau sudah mature harga bisa turun," kata dia.
Selain menentukan harga jual, Halim mengatakan pemerintah perlu memastikan pembelinya. Selama ini hanya PLN yang bisa membeli produk EBT swasta. Jika PLN enggan membeli, pemerintah perlu mencarikan solusi.
VINDRY FLORENTIN