TEMPO.CO, New York - Minyak berjangka pada perdagangan Selasa kemarin ditutup pada level tertingginya dalam dua bulan terakhir, setelah naik dalam tiga hari beruntun yang memanfaatkan momentum hidupnya kembali harapan stimulus lanjutan di Amerika Serikat (AS).
Harga minyak untuk antaran bulan September naik US$ 147 (1,6 persen) menjadi US$ 93,67 per barel di bursa komoditas New York semalam. Ini merupakan harga tertinggi sejak 15 Mei lalu.
Ekspektasi turunnya laporan cadangan minyak mingguan dan naiknya harga saham AS juga turut mendorong penguatan harga minyak. “Dukungan kenaikan aset-aset yang dianggap berisiko ini datang dari komentar pejabat The Fed Boston, Eric Rosengren,” ujar Matt Smith, analis dari Summit Energy.
Rosengren memang bukan anggota yang memiliki hak suara di Komite Pasar Terbuka The Fed. Tapi dia mengatakan bahwa masih terbuka untuk pelonggaran lebih awal di musim panas ini, yang menggambarkan perekonomian AS masih belum tumbuh.
Harga minyak jenis Brent juga naik US$ 2,45 (2,2 persen) menjadi US$ 112 per barel di ICE Futures London.
Kebakaran yang terjadi di kilang minyak Cevron Corp, California, memicu kenaikan harga bensin berjangka dan minyak lainnya. Namun harga bensin eceran di negara tertentu bisa mencapai US$ 4 per galon.
“Harga bensin berjangka mulai berangsur normal setelah gangguan kilang dalam beberapa minggu terakhir,” tuturnya.
Harga bensin untuk kontrak bulan September naik 7 sen (2,4 persen) menjadi US$ 2,99 per galon. Ini merupakan harga tertinggi bensin sejak 11 Mei lalu. Investor akan mencermati laporan mingguan yang akan menunjukkan penurunan persedian minyak mentah dan bensin.
The American Petroleum Institute merilis data mingguannya pada hari Selasa, dan berikutnya Departemen Energi pada hari Rabu. Analis yang disurvei oleh Platts memperkirakan persediaan minyak mengalami penurunan sebesar 300 ribu barel hingga 3 Agustus lalu. Pasokan perkiraan analis, bensin telah turun 2 juta barel.
MARKETWATCH | VIVA B. K