TEMPO Interaktif, Jakarta - Sikap Indonesia tentang Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership) diperkirakan bakal berubah. Keteguhan pemerintah diyakini akan goyah jika dalam satu-dua tahun mendatang pertumbuhan ekonomi Indonesia terus menguat.
Saat itu terjadi, pemerintah ada kemungkinan bergabung dengan Kemitraan. "Sebab, pada dasarnya visi ekonomi Indonesia pro-pasar bebas," tutur ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Ahmad Erani Yustika, ketika dihubungi Tempo, Sabtu, 19 November 2011.
Dia mengatakan banyak cara yang bisa dimainkan Amerika Serikat untuk mendesak Indonesia ikut dalam Kemitraan. Apalagi kalau Amerika berkeras mendapatkan pasar Asia-Pasifik. "Mereka punya banyak kartu yang bisa dimainkan. Bisa saja dengan meningkatkan standar ekspor produk perikanan," ujarnya.
Trans-Pacific Partnership adalah blok perdagangan bebas yang saat ini masih dinegosiasikan bentuknya. Namun ada kemungkinan blok baru yang dimotori Amerika dan Australia itu mengarah pada pembentukan Asia-Pacific Free Trade Agreement.
Sejauh ini baru sembilan negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) yang bersedia bergabung dalam rencana kerja sama tersebut, yakni Singapura, Brunei, Malaysia, Selandia Baru, Amerika, Australia, Cile, Peru, dan Vietnam. Adapun 12 negara lainnya belum bergabung: Indonesia, Kanada, Cina, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Papua Nugini, Filipina, Rusia, Taiwan, dan Thailand.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Honolulu, Amerika, pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan sikap pemerintah yang menolak bergabung dengan Kemitraan. Tapi Amerika terus membujuk Indonesia. Dalam pertemuan pebisnis Amerika-ASEAN di Bali, Jumat pekan lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton kembali menyerukan pentingnya Kemitraan Trans-Pasifik.
Menurut Ahmad, sebenarnya konsep Kemitraan Trans-Pasifik belum jelas. "Apakah hanya akan memperkuat kerja sama kawasan atau memang benar mau perdagangan bebas," katanya. Sebab, Amerika membawa rancangan kerja sama ini dalam kondisi kesulitan ekonomi dan harus mencari pasar baru. Maka wajar saja kalau banyak negara yang menolak bergabung.
Jadi, kata Ahmad, meskipun Amerika menekan Indonesia, pemerintah tidak perlu mengikuti. "Industri Indonesia sudah melakukan modernisasi secara bertahap. Lagi pula perdagangan kita tidak terlalu bergantung pada negara itu," ujarnya.
Selain itu, ekonomi Indonesia sebenarnya sudah "telanjang" sejak meratifikasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 1994. "Setelah WTO, ada perjanjian ASEAN-China Free Trade Agreement, ASEAN Free Trade Agreement, dan lain-lain," katanya.
Di kalangan pengusaha, terdapat perbedaan pandangan menyikapi pembentukan Kemitraan Trans-Pasifik. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat Usman menyayangkan penolakan pemerintah.
Alasannya, keikutsertaan Indonesia dalam Kemitraan berpotensi mendongkrak nilai ekspor tekstil ke Amerika. Sebaliknya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi meminta pebisnis dan pemerintah terlebih dulu menyelesaikan berbagai persoalan yang merintangi pertumbuhan ekonomi sebelum membuka pasar lebih luas.
EKA UTAMI APRILIA | EFRI