TEMPO.CO, Jakarta -Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan peluang ekspor manufaktur Indonesia masih cukup kuat. Hal ini dia paparkan merespons data Purchasing Manager’s Index (PMI) yang masih pada level kontraksi.
Standard & Poor's Global Ratings (S&P) mencatat Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada September masih anjlok ke zona kontraksi yakni level 49,2. Melemahnya ekspor dan konsumsi domestik jadi pemicunya. Namun Febri optimistis peluang ekspor masih baik. “Terutama hasil hilirisasi,” ujarnya lewat keterangan resmi dikutip Jumat, 4 Oktober 2024.
Hal ini, menurut dia mulai terlihat dari tren kenaikan beberapa harga komoditas seperti nikel, minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan batu bara. Febri menambahkan kontraksi manufaktur saat ini juga dialami sebagian besar negara mitra dagang Indonesia. Seperti Amerika Serikat di level 47,0; China 49,3; dan Jepang 49,6. Ambang batas pertumbuhan PMI manufaktur adalah 50, di bawah itu tergolong level kontraksi.
Kontraksi manufaktur Indonesia selama 3 bulan berturut-turut, serta maraknya hambatan perdagangan menjadi faktor yang turut menekan kinerja manufaktur. Di sisi lain, faktor kekhawatiran atas perlambatan ekonomi Cina juga masih membayangi, meski pemerintah Tiongkok telah berusaha membangkitkan optimisme pasar melalui paket stimulus yang cukup signifikan.
Pelemahan manufaktur juga diakui Ketua umum Kamar Dagang Industri atau Kadin yang terpilih dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa, Anindya Bakrie. Dia mengatakan transisi pemerintahan dari Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto turut memengaruhi kontraksi PMI manufaktur tiga bulan belakangan.
Anindya memaparkan, selama 50 bulan dunia usaha melihat PMI manufaktur berada di atas 50 persen atau baik. “Tapi memang beberapa bulan terakhir, kita ketahui memang lagi transisi pemerintahan juga tahun politik sehingga banyak yang wait and see,” ujarnya usai Sarasehan bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, di Menara Kadin, Rabu, 2 Oktober 2024.
Kondisi tersebut membuat pengusaha memilih untuk menunda pengambilan keputusan atau tindakan signifikan hingga situasi menjadi lebih jelas atau stabil. Namun menurut Anindya, pengusaha tidak khawatir dengan kebijakan-kebijakan pemerintah baik yang pro bisnis dan juga pro rakyat.