TEMPO.CO, Jakarta - Sikap Pimpinan Pusat atau PP Muhammadiyah yang masih menimbang-nimbang sikap terhadap izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah memantik respons dari kadernya di akar rumput. Salah satunya, Rahmatullah Al-Barawi, 28 tahun, pengurus ranting PP Muhammadiyah di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Kepada Tempo, Rahmat menceritakan pengalamannya tinggal di daerah terdampak tambang. Dari pengalaman itu, dia meminta elite pimpinan organisasinya tak turut terlibat dalam bisnis yang dia nilai lebih banyak mudaratnya itu. “Saya berharap cemas sekaligus berharap sangat kuat kepada PP Muhammadiyah untuk menolak konsesi tambang yang diberikan oleh pemerintah,” ujar Rahmat.
PP Muhammadiyah menggelar rapat pleno untuk mengkaji sikap terhadap konsesi tambang di Gedung PP Muhammadiyah pada Sabtu, 13 Juli 2024. Sumber Tempo menyatakan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia hadir dalam rapat pleno untuk menjelaskan kebijakan itu.
Salah seorang petugas keamanan yang berjaga di Gedung PP Muhammadiyah mengonfirmasi Bahlil sempat hadir dalam rapat itu. Namun, politikus Partai Golkar itu telah minta diri sebelum rapat selesai. Petugas keamanan ini menyebut rapat itu berlangsung tertutup dan media tidak diperbolehkan meliput rapat.
Lebih lanjut Rahmat mengatakan tinggal tak jauh dari wilayah yang digunakan untuk tambang batu bara. Dari tambang yang beroperasi di daerahnya, dia menyaksikan ekosistem lingkungan makin buruk. Dia mencontohkan, hujan beberapa jam segera mendatangkan banjir di wilayah itu. Padahal sebelum tambang beroperasi, banjir itu tidak terjadi. Di wilayah paling utara Pulau Kalimantan itu, tambang juga menyebabkan tanah longsor.
Menurut Rahmat, perusahaan-perusahaan yang banyak berdampak langsung kepada warga justru merupakan perusahaan-perusahaan ilegal. Dia menduga, perusahaan-perusahaan itu tak mengantongi IUP. Perusahaan-perusahaan itu dibangun amat berdekatan dengan permukiman warga.
Kendati begitu, Rahmat mengatakan bukan berarti perusahaan-perusahaan yang memiliki izin tak berdampak buruk kepada lingkungan. Perusahaan-perusahaan legal juga memiliki catatatan kerusakan lingkungan, hanya lokasinya tak berdekatan dengan permukiman warga. “Tidak melegitimasi itu sah dilakukan,” kata dia.
Rahmat juga menyinggung amanat Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta, 20 November 2022, bertajuk “Risalah Islam Berkemajuan". Rahmat mengaku kala itu turut menghadiri muktamar itu. Dokumen itu antara lain menyebut perubahan iklim dalam skala global yang kini menjadi tantangan umat manusia.
Perilaku manusia yang boros terhadap energi dan semena-mena terhadap lingkungan, tulis dokumen itu, telah menyebabkan peningkatan panas dan perubahan yang cepat di lapisan atmosfer, laut dan daratan. “Jangan sampai tagline ‘Islam Berkemajuan’ itu menjadi pupus,” kata dia.
Pilihan Editor: Tanggapan MUI dan Dosen UIN Jakarta atas Pembentukan Pansus Haji DPR