TEMPO.CO, Jakarta - Menyoroti hasil survei terbaru dari S&P Global, Senior Analyst Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita mengungkapkan bahwa terjadi perlambatan pada purchasing managers index (PMI) manufaktur Indonesia. Dengan posisi 51,7, ini merupakan angka terendah dalam lima bulan terakhir. Ronny mengungkapkan bahwa dampak perlambatan ini bersifat global dan terutama terasa pada sektor manufaktur, terutama industri tekstil.
Permintaan global yang menurun dalam lima bulan terakhir, terutama dari negara-negara seperti Bangladesh, Cina, dan Vietnam, telah memberikan tekanan pada sektor ini. Meskipun demikian, Ronny menyatakan bahwa secara sektoral, masih menunjukkan kinerja yang cukup baik, dan demand internal di Indonesia masih relatif bagus untuk produk manufaktur.
"Dari lima bulan terakhir, terutama di industri tekstil, permintaan global berkurang, membuat manufacturing yang berorientasi ekspansi mengalami tekanan. Namun, beberapa sektor masih solid, dan secara internal, demand kita masih lumayan bagus untuk produk manufaktur," tutur Ronny dalam agenda Talkshow MobilTM Connect di JIEXPO Kemayoran pada Rabu, 6 Desember 2023.
Ronny menekankan bahwa meskipun kontribusi manufaktur turun dari 28 persen menjadi 25 persen dalam 15 tahun terakhir, sektor ini masih menjadi kontributor tertinggi dibanding sektor lainnya seperti pertanian, perdagangan, dan konstruksi. Ronny juga menegaskan bahwa tantangan pemerintah ke depan adalah meningkatkan kontribusi sektor manufaktur untuk mengatasi penurunan tersebut.
Meskipun kontribusi manufaktur saat ini turun, Ronny meyakini bahwa target minimal 25 persen masih dapat dicapai dalam 10-20 tahun mendatang. “Jadi pemerintah tantangannya ke depan meningkatkan itu, minimal sampai 25 persen masih bisa kita kejar dalam 10-20 tahun ke depan, kalau bahasa pemerintahannya menuju Indonesia Emas itu is not possible tanpa manufaktur, revolusi industri dimulai dengan manufaktur,”
Selanjutnya, Dadang Asikin, yang merupakan Tenaga Ahli Kementerian ESDM Bidang Manajemen Proyek sekaligus Ketua Umum Gabungan Asosiasi Industri Logam dan Mesin Indonesia (GAMMA), membahas tantangan yang dihadapi pelaku industri manufaktur. Menurutnya, tantangan paling berat dalam industri mesin dan logam adalah ketergantungan pada rantai pasok bahan baku impor.
"Bahan baku saat ini sangat tergantung pada rantai pasok yang masih impor, sementara kita di dalam membangun industri perlu cepat dalam mendatangkan mesin-mesin," Dadang menjelaskan.
Dadang juga menyoroti tantangan dalam investasi asing. Kapasitas dan daya saing industri diuji untuk menyediakan peralatan dengan cepat dan memperoleh bahan baku yang murah dan berkualitas. Namun, tantangan dari luar seperti produksi peralatan dengan harga lebih murah menjadi faktor utama yang perlu dihadapi industri dalam negeri. Oleh karena itu, kecepatan dalam mengatasi masalah rantai pasok, bahan baku, dan biaya produksi menjadi kunci keberhasilan bagi industri manufaktur di Indonesia.
Mengenai tren industri manufaktur di masa depan, Dadang menekankan perlunya transformasi digital. "Kecepatan informasi sangat diperlukan, efisiensi dari suatu program. Tren manufaktur harus berbasis IoT (Internet of Things), dan otomatisasi harus diterapkan di semua sektor," ujar Dadang. Ia juga menambahkan bahwa pemerintah harus memainkan peran penting dalam menciptakan infrastruktur dan dukungan SDM untuk mendukung transformasi digital di industri manufaktur.
Dengan adanya tantangan dan hambatan dalam industri manufaktur, pemerintah diharapkan perlu berperan aktif dalam menciptakan kebijakan yang mendukung pertumbuhan sektor ini, baik melalui regulasi bahan baku hingga penyediaan infrastruktur digital yang memadai. Sebagai langkah awal, hal ini akan menjadi pondasi penting dalam mencapai Indonesia Emas yang menjadi tujuan pemerintah. Hal ini tidak mungkin terwujud tanpa perkembangan yang signifikan dalam sektor manufaktur.
Pilihan Editor: Investor Disebut Ragu karena Ada Capres Tolak IKN, Tom Lembong: Kepercayaan Lemah sejak Dulu