Di sisi lain, Supriyanto mengakui produksi kedelai lokal belum bagus dan belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Hingga kini untuk mencukupi kebutuhan kedelai itu Indonesia harus mengimpor.
Ia menyebutkan impor kedelai dilakukan terutama karena masyarakat, khususnya produsen tempe atau tahu lebih memilih menggunakan kedelai yang besar dibandingkan kedelai kecil.
"Permasalahan bukan karena si pengusaha maunya yang impor, tapi karena masyarakat, khususnya para pembuat tempe atau tahu cenderung lebih memilih kedelai besar," katanya.
Sementara di sisi lain, dari petani sendiri cenderung lebih memilih varietas kedelai yang produknya kecil-kecil. Jika para petani itu didorong untuk beralih varietas cenderung sulit.
"Kita memang masih banyak impor karena kedelai yang dikembangkan petani (lokal) yang dipilih adalah kedelai yang kecil-kecil. Padahal pengusaha tempe biasanya menginginkan kedelai yang besar. Sementara petani kita itu kalau diminta bergeser ke varietas yang punya produk besar, rodo kangelan (agak sulit). Padahal kalau bantuan benih dari kita cukup banyak," tuturnya.
Namun ia memastikan upaya untuk meyakinkan para petani kedelai dalam berproduksi tetap berjalan terus. Pemerintah juga akan terus mendorong agar kalangan petani kedelai dapat menjadikan pekerjaan mereka itu sebagai sumber penghasilan utama dan bukan sekadar pekerjaan sampingan.
Pilihan Editor: Harga Bahan Pokok Merangkak Naik Menjelang Idul Adha, Kenapa Telur dan Ayam Melonjak Paling Tinggi?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini