TEMPO.CO, Jakarta - Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global menimbulkan reaksi keras, khususnya dari kalangan serikat buruh.
Aturan ini menetapkan sejumlah pengaturan baru atas jam kerja dan pembayaran upah untuk buruh di lima industri padat karya berorientasi ekspor. Diantaranya industri tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, kulit, furniture, dan mainan anak.
Beleid tersebut membolehkan pengusaha untuk mengurangi jam kerja para buruh. Dalam Pasal 8 disebutkan pengusaha juga diperbolehkan memotong upah sampai 25 persen dari upah yang biasa dibayarkan.
Karena itu, Aliansi serikat buruh bernama Dialog Sosial Sektoral (DSS) sebagai aliansi serikat buruh yang beranggotakan sepuluh serikat terbesar di sektor tekstil, garmen, sepatu dan kulit menyatakan penolakan atas penerbitan dan pemberlakukan Permenaker ini. Ia mengungkapkan aturan itu adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi atas upah.
Tempo merangkum komentar-komentar DSS berikut ini.
Ada Lima Asosiasi Pengusaha di Balik Keluarnya Aturan
DSS mengungkapkan ada lima asosiasi pengusaha, termasuk Apindo, yang mengirimkan surat kepada Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah sebelum terbitnya izin pemotongan upah buruh. Surat tersebut berisi permintaan agar Menaker menerbitkan aturan tambahan soal fleksibilitas jam kerja hingga pemotongan upah para buruh.
"Aturan ini tidak begitu saja dikeluarkan Menaker karena situasi global. Besar kemungkinan aturan tersebut untuk mengakomodir permintaan dari 5 asosiasi pengusaha itu," ujar Koordinator DSS, Emelia Yanti Siahaan dalam konferensi pers di Jakarta Pusat pada Senin, 20 Maret 2023.
Lima asosiasi tersebut adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Persepatuan Indonesia (Apresindo), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Korean of Garment Association (KOGA), dan Korean of Footwear Association (KOFA). Emelia mengaku memiliki salinan surat tersebut. Ia berujar kelima asosiasi itu mengirimkan surat pada 7 Oktober 2022.
"Surat itu kemudian disambut oleh Menaker dengan mengeluarkan Permenaker ini," tutur Emelia.
Krisis Global Hanya Alibi Belaka
Menurut Emelia, alasan krisis ekonomi global sulit untuk dimengerti. Ia menilai penerbitan Permenaker itu adalah langkah pemerintah melegalisasi pemotongan upah, karena buruh dan anggota keluarganya justru adalah kaum yang paling terdampak krisis. Dia menuturkan Permenaker ini justru menunjukkan betapa Kemenaker sama sekali tidak mampu menempatkan dirinya sebagai pelindung bagi kaum buruh dari kesemena-menaan perusahaan.
"Upah adalah hak asasi, tidak boleh dinegosiasikan, bahkan dalam kondisi apapun," ujarnya.
Emelia juga mengatakan bahwa sejak pandemi Covid-19 justru banyak perusahaan di industri padat karya itu melakukan ekspansi.
"Banyak perusahaan di industri ini yang justru ekspansi ketika krisis, bukan melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja)," ujar Emelia ditemui Tempo di Jakarta Pusat pada Senin, 20 Maret 2023.