Serikat Buruh menilai Permenaker No 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Padat Karya telah melegalisasi penurunan kesejahteraan buruh.
"Permenaker ini secara substansi merupakan legalisasi penurunan kesejahteraan bagi buruh di lima sektor industri vital yang berpengaruh pada lebih dari 5 juta orang buruh yang bekerja," ujar Emelia.
Emelia memaparkan bahwa sudah sejak dahulu pemotongan upah ini terjadi pada tahun lalu. BPS mencatat pada tahun 2022 ada sekitar 50,61 persen buruh di 5 sektor ini menerima upah di bawah UMK.
"Permenaker ini akan semakin merampas upah buruh semakin mendalam dan semakin luas. Jadi, apakah Permenaker ini adalah bentuk legalisasi dari bentuk pemotongan upah yang jauh sebelum ini sudah terjadi?" katanya.
Berpotensi Memperuncing Konflik Buruh-Pengusaha
Emelia juga mengatakan bahwa aturan itu dapat mendorong konflik antara pihak buruh dan perusahaan. Karena berpotensi memperlebar konflik antara buruh dan pengusaha, Emelia menilai pemotongan upah justru dapat mengganggu produktivitas dan kelancaran dunia usaha. Padahal, Menaker berdalih penerbitan aturan itu untuk menjaga kelangsungan bekerja dan kelangsungan berusaha.
Bentuk Pelecehan dan Bertentangan dengan Konvensi Internasional
Emelia mengatakan bahwa aturan tersebut merupakan pelecehan terhadap hak dan peran serikat buruh dalam perundingan kolektif. Selain itu, penerbitan izin pemotongan upah buruh juga bertentangan dengan Konvensi International Labor Organization (ILO) Nomor 98 Tahun Tahun 1949 tentang Penerapan Azas-azas Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama (The Application of The Principles of The Right to Organize and to Bargain Collectively).
RIANI SANUSI PUTRI | HANIFAH DWIJAYANTI
Pilihan Editor: Ramai PHK Sepihak Transmart, Kemnaker Pernah Bilang Perusahaan Tak Bisa Lakukan Menurut Cipta Kerja