“Tiba-tiba butuh kendaraan umum, BBM yang tadinya enggak perlu dikonsumsi menjadi dikonsumsi lagi, makan yang tadinya di rumah menjadi di kampus, keluarga yang biasanya di rumah saja sekarang jalan-jalan,” ujar dia.
Sri Mulyani mengatakan, normalisasi itu ternyata belum siap dilakukan. Dia mencontohkan di Amerika Serikat dan Eropa. Mulai dari ada barang tapi tidak ada truk untuk mengangkutnya, orang berbelanja tapi barangnya belum ada di etalase tokonya, karena pelayanannya belum penuh berfungsi.
Pemulihan ekonomi mendorong inflasi
Sehingga, kata Sri Mulyani, saat masyarakat berlomba untuk melakukan konsumsi, barang dan jasanya belum siap. Hal itu menyebabkan harga naik. “Karena orang berebutan, oh saya pengen makan tapi jumlahnya terbatas, harga naik itu namanya inflasi,” tutur dia.
Selanjutnya, dia menambahkan, begitu inflasi terjadi, maka otoritas moneter Bank Sentral merespon dengan harus mengendalikannya. Buntutnya, di Amerika dan Eropa dilakukan kenaikan suku bunga secara drastis dan cepat dengan likuiditas yang diketatkan membuat ekonominya melemah lagi.
“Inilah yang tadi disebutkan bahwa lembaga internasional seperti internasional monetary fund IMF mengatakan tahun 2023 ini akan gelap. Karena tadi ada fenomena kenaikan suku bunga dan menyebabkan ekonomi melemah,” kata Sri Mulyani.
Itu baru satu masalah saja dari pandemi. Tantangan lainnya, Sri Mulyani berujar, perang Rusia dan Ukraina yang memunculkan ketengan global. Dia mengatakan, memang Ukraina lokasinya sangat jauh dengan Indonesia, tapi dampaknya terjadi di seluruh dunia.
Baca juga: Sri Mulyani Ingat Orang Tuanya Saat Jadi Pembicara di STKIP PGRI Sumenep
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.