Akan tetapi, larangan diberlakukan Jokowi untuk meningkatkan nilai tambah dan hilirisasi bauksit di dalam negeri. Saat ini, Indonesia mengimpor aluminium tak kurang US$ 2 miliar. Aluminium merupakan salah satu produk turunan dari bauksit.
Airlangga menyebut saat ini sudah ada empat fasilitas pemurnian alias smelter bauksit eksisting dengan kapasitas alumina, hasil pengolahan bauksit yang akan diproses menjadi aluminium, sebesar 4,3 juta ton. Di luar itu, masih ada pembangunan smelter baru.
Kapasitas input 27,41 juta ton dan kapasitas produksinya mencapai 4,98 juta ton atau mendekati 5 juta ton. Sedangkan, cadangan bauksit Indonesia juga dinilai cukup besar yaitu mencapai Rp 3,2 miliar dan bisa memenuhi kapasitas smelter hingga 41,5 juta ton.
Sehingga secara total, Airlangga menyebut ada 8 smelter yang disiapkan untuk mengolah bauksit yang bisa bertambah lagi 12 unit. Smelter-smelter inilah yang diharapkan pemerintah mengolah bauksit di Tanah Air yang punya cadangan 90 hingga 100 tahun ke depan.
Bauksit mentah ini bisa diolah menjadi alumina, yang kemudian berakhir jadi aluminium. Dari aluminium bisa bergerak lagi menjadi bentuk barangan dan dipakai oleh berbagai industri. Airlangga mencontohkan industri permesinan hingga industri konstruksi.
"Jadi itu yang dikompensasi dengan investasi dan juga penghematan devisa yang US$ 2 miliar dari ekspor, yang diperkirakan juga bisa mencapai nilai yang cukup signifikan di sekitar Rp 62 triliun," kata Airlangga.
Airlangga juga menyebut bauksit Indonesia dikirim ke konsumen di Cina hingga Australia, meski jumlahnya relatif tidak signifikan. Airlangga pun yakin larangan ekspor bijih bauksit ini tidak akan mengganggu supply chain dari konsumen di luar negeri, karena masih ada pasokan dari negara lain, contohnya dari Australia yang juga menjadi produsen bauksit.
Baca Juga: Kondisi Global Serba Tidak Pasti, Sri Mulyani: Harus Jadi Perhatian Hadapi Risiko Perekonomian
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.