“Dampaknya sangat nyata terjadi dalam tarif pengiriman barang yang merugikan pengemudi ojol. Dalam pengantaran barang aplikator menetapkan tarif Rp 11.100 untuk mengantar satu barang,” kata Lily.
Akan tetapi, Lily menyebut aplikator hanya membayar Rp 44.000 kepada pengemudi ojol yang mengantar sebanyak 20 barang. Artinya, dalam mengantar satu barang, pengemudi hanya mendapat upah Rp 2.200.
“Seharusnya pengemudi ojol memperoleh pendapatan Rp 222.000. Sehingga pengemudi ojol pendapatannya hilang sebesar Rp 178.000, sebaliknya aplikator memperoleh profit ilegal sebesar nilai tersebut,” ujar Lily.
Lily juga mengatakan bahwa kondisi ini semakin diperparah dengan status pengemudi ojol hanya hanya dianggap sebagai mitra, bukan sebagai pekerja. Oleh karena itu, ia berharap Presiden mau memerintahkan para menterinya agar memberikan sanksi kepada aplikator dan menetapkan pengemudi angkutan online, ojol dan taksi online sebagai pekerja tetap sesuai UU Ketenagakerjaan.
“Karena selama ini aplikator tidak memenuhi hak-hak pekerja seperti hak upah dan kerja yang layak, hak perempuan untuk cuti haid, melahirkan serta hak berserikat untuk mengaspirasikan suara pekerja angkutan online,” kata Lily menjelaskan lebih jauh tetang kondisi para pengemudi ojek online saat ini.
Baca juga: Santunan Keselamatan Kerja Ojek Online, Maxim: Kami Kerja Sama dengan YPSSI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.