TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira merespons pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan yang mengklaim tak ada suntikan dana APBN dalam proyek kereta cepat. Luhut berujar pendanaan proyek itu masih tertopang oleh kerja sama berbasis business to business atau B2B.
"Memang di atas kertas seolah B2B tapi pada prinsipnya negara melakukan bailout kepada proyek infrastruktur melalui PMN (Penyertaan Modal Negara) kepada BUMN," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Kamis, 13 Oktober 2022.
Pada November 2021 proyek kereta cepat Jakarta-Bandung telah mendapatkan suntikan dana dari APBN sebesar Rp 4,3 triliun. Suntikan dana diberikan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI sebagai pimpinan konsorsium Indonesia.
Baca: Proyek Kereta Cepat Dapat Suntikan APBN Triliunan Rupiah, Luhut: Masih B2B
Alokasi dana APBN untuk proyek kereta cepat itu berlandaskan pada Peraturan Presiden (Perpres) 93 Tahun 2021. Aturan itu memperbolehkan penggunaan dana APBN untuk memenuhi kekurangan penyetoran ekuitas dasar (base equity). Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan suntikan dana APBN untuk menutup pembengkakan biaya (cost overrun).
Bhima menilai kondisi itu sudah bisa dikategorikan sebagai hidden debt atau utang tersembunyi. Definisi hidden debt, kata Bhima, adalah utang pemerintah yang seolah ditanggung oleh BUMN dan dicatat sebagai utang korporasi, padahal terdapat dana pemerintah untuk membayar cicilan utang. Ditambah risiko dari proyek itu, akan menjadi tanggung jawab pemerintah.
Imbasnya, utang pemerintah menjadi bertambah dengan adanya utang tersembunyi itu. Bhima mengatakan situasi seperti itu lah yang membuat pencatatan utang Indonesia tak semata seperti yang tertulis pada APBN. Utang tersembunyi seperti dalam proyek kereta cepat turut berperan menambah bengkaknya jumlah utang Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi itu mengatakan bukan tidak mungkin pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk mensubsidi proyek kereta cepat itu. Luhut berdalih penerimaan pajak telah mencapai lebih dari Rp 12 triliun.
"Jadi kalaupun APBN mensubsidi KAI, saya kira itu masih masuk lah," kata dia.
Berdasarkan catatan Tempo, kebutuhan pendanaan proyek berskala jumbo itu menggendut hingga mencapai US$1,1 miliar sampai 1,9 miliar dari perhitungan awal atau sekitar Rp16,3 triliun. Angka itu setara dengan Rp29,2 triliun dengan asumsi kurs Rp15.361.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca: Luhut: Jangan Lupa Belanja Produk Dalam Negeri, Geliatkan UMKM
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini