TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pertanian atau Kementan menjelaskan maksud dari pernyataan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang mengatakan harga mi instan bisa naik 3 kali lipat dalam waktu dekat. Kementan menyampaikan penjelasan setelah produsen mi instan dalam negeri membantah harga produknya naik 3 kali lipat.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri mengatakan, pernyataan Menteri Pertanian itu sebetulnya hanya sebatas pengingat kepada produsen mi instan bahwa bahan baku tepung terigu yang digunakan untuk memproduksi mi instan berasal dari impor, sehingga tergantung gejolak harga negara-negara produsen.
“Kementan merespons positif pernyataan salah satu pelaku industri pangan olahan berbasis gandum yang menyebutkan kenaikan harga produk pangan olahan tidak akan signifikan. Pemerintah termasuk Kementan mengharapkan semua pelaku industri pangan terus berkomitmen untuk menjaga harga produk mereka," ujar Kuntoro melalui siaran pers, Kamis, 11 Agustus 2022.
Kementerian Pertanian mencatat, Indonesia merupakan negara kedua dengan nilai impor gandum tertinggi di dunia, padahal gandum merupakan tanaman pangan yang sulit ditanam. Total nilai impornya tercatat mencapai US$ 2,6 miliar pada 2020 atau setara 5,4 persen dari total impor gandum dunia.
Kuntoro melanjutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 konsumsi gandum per kapita penduduk Indonesia adalah 30,5 kg/tahun dengan kebutuhan gandum terbesar adalah untuk industri produk pangan olahan, seperti mi instan, kue, dan roti. Sementara itu, makanan pangan pokok penduduk Indonesia yaitu beras, konsumsinya per kapita sebesar 27 kg/tahun.
Dia mengatakan, harga produk hasil gandum tentu akan mudah terpengaruh kondisi global, terutama negara-negara produsen utama. Apalagi, dia melanjutkan, sejumlah negara penghasil gandum, seperti Rusia, India, Serbia, Mesir, Afghanistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Kosovo, tengah mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor untuk merespons tren ancaman krisis pangan.
“Perang Rusia - Ukraina juga sangat memengaruhi pasokan gandum untuk kebutuhan global. Menurut laporan FAO, sekitar 50 negara menggantungkan sekitar 30 persen impor gandumnya dari Rusia dan Ukraina,” ucap Kuntoro.
Kuntoro berpendapat, konflik geopolitik masih bisa mempengaruhi pasar gandum di Indonesia, karena total produk pangan yang diimpor dari kedua negara yang berkonflik, yaitu Rusia dan Ukraina pada 2021 sebesar US$956 juta dan 98 persen di antaranya adalah gandum.
Dia mengatakan, kalimat potensi kenaikan harga mi intan itu dilontarkan Mentan untuk mengingatkan masyarakat dan juga pelaku industri pangan terhadap potensi krisis pangan tersebut. Seraya juga terus mengupayakan sejumlah langkah untuk bisa menghindarkan Indonesia dari kemungkinan kelangkaan pangan.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah mensubtitusi kebutuhan bahan pangan impor dengan bahan lokal. Untuk kebutuhan industri pangan olahan berbasis gandum, Pemerintah mulai menggalakkan penanaman sorgum yang dapat menggantikan gandum. Kementan juga memperkuat dan menyediakan pangan lokal alternatif, seperti singkong dan umbi-umbian.
“Gandum dapat disubstitusi sorgum yang sangat cocok dikembangkan disini. Pangan lokal dapat menyelamatkan kita dari krisis pangan. Sorgum salah satunya,” ucap Kuntoro.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini