Pada pertengahan Juni lalu, harga Bitcoin jeblok hingga ke bawah level US$ 18.500 atau sekitar Rp 274 jutaan (asumsi kurs Rp 14.830 per dolar Amerika). Aset kripto tersebut kala itu gagal rebound kembali ke level US$ 20 ribu hingga 23 ribuan seperti yang telah diperdagangkan secara stabil pada minggu lalu.
Tren harga Bitcoin ini menunjukkan penurunan tingkat harga yang signifikan, yaitu level tertinggi sepanjang masa dari siklus kripto sebelumnya. Padahal pada November tahun lalu, Bitcoin sempat meroket hingga ke level tertinggi US$ 69.044,8 atau sekitar Rp 1,024 miliar.
Bitcoin tercatat secara historis mengalami periode kenaikan harga tanpa gejala yang diikuti oleh penurunan tajam, biasanya terjadi selama beberapa bulan hingga dua tahun. Para pedagang dan spekulan cryptocurrency menyebut periode ini sebagai "siklus" dan sering merujuk pada tingkat harga historis saat menetapkan target harga baru.
Sebelumnya, sejumlah pedagang kripto memprediksi Bitcoin tidak akan jatuh di bawah penurunan terdalam. Teori itu bertahan selama periode penarikan 2018, tetapi kemudian dipatahkan oleh siklus penurunan saat ini.
Selama periode kenaikan harga Bitcoin pada 2017, aset kripto ini menembus level tertinggi US$ 19.783 pada Desember 2017, sebelum jatuh kembali ke kisaran empat digit hanya satu bulan kemudian.
Sedangkan pada siklus 2013-2014, Bitcoin mencapai titik tertinggi sepanjang masa di US$ 1.127 pada saat itu, level yang berhasil dipertahankan cryptocurrency selama penarikan 2018.
ANTARA | BISNIS
Baca: Gaji ke-13 PNS dan Pensiunan Cair Jumat ini, Nominalnya Lebih Besar dari Tahun Lalu
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.