TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Perhubungan membuka peluang untuk merevisi aturan tarif tiket pesawat. Ketentuan mengenai tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB) tiket pesawat sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019.
“Kami sedang meninjau tentang tarif (tiket pesawat) dalam PM 20 (Tahun 2019) apakah struktur tarif masih sesuai dengan kondisi operasional saat ini. Struktur tadi termasuk perubahannya berapa dan lain-lain,” ujar Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nur Isnin Istiartono dalam rapat bersama Komisi V DPR, Selasa, 28 Juni 2022, di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Isnin mengatakan pemerintah perlu memperhatikan kelangsungan industri penerbangan di tengah upaya pemulihan setelah pandemi Covid-19 dan tekanan gejolak ekonomi global. Setelah pagebluk berlangsung, bisnis maskapai dihadapkan dengan tantangan baru, yakni melonjaknya harga bahan bakar pesawat atau avtur.
Berdasarkan catatan kementerian Perhubungan, harga avtur rata-rata pada Juni 2022 mengalami kenaikan 64 persen dibandingkan dengan 2019. Harga avtur per Juni tercatat Rp 17.753 per liter. Sedangkan harga avtur pada 2019—saat PM 20 Tahun 2019 terbit--sebesar Rp 10.845.
Selain itu, maskapai menghadapi tantangan perubahan nilai tukar mata uang. Pelemahan rupiah yang terjadi menyebabkan maskapai mesti mengeluarkan ongkos lebih untuk membeli sparepart yang umumnya impor.
Adapun berdasarkan Pasal 126 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009, komponen pembentuk harga tiket pesawat terbagi atas tarif jarak, pajak pertambahan nilai (PPN), iuran wajib pesawat udara, biaya tambahan seperti tuslah bila ada, dan passanger service charge (PSC). Tarif jarak dibagi berdasarkan kelompok layanan dan jenis pesawatnya.
Sedangkan biaya operasi pesawat udara atau BOP terdiri atas komponen biaya avtur dan pelumas, pemeliharaan dan overhaul, sewa pesawat, dan lain-lain seperti asuransi. Biaya avtur memakan porsi 30-40 persen dari total biaya operasi maskapai.
Kemudian biaya pemeliharaan dan overhaul mencaplok porsi 20-25 persen dari BOP. Adapun sewa pesawat memakan porsi 17-20 persen dan sisanya lain-lain.
Isnin menyatkan selama pandemi Covid-19, pemerintah telah berupaya melakukan berbagai strategi untuk menjaga kelangsunan industri maskapai penerbangan. “Di internal kami saling gotong royong, ada penundaan pembayaran piutang dan sebagainya. Kami pun memberikan stimulus,” ucap Isnin.
Isnin mengatakan keberlangsungan bisnis industri maskapai harus tetap dijaga karena moda transportasi ini penting menjembatani akses masyarakat antar-pulau. “Seperti di pulau-pulau kecil, itu transportasinya mengandalkan angkutan udara,” katanya.
Baca juga: Garuda Blak-blakan Nasib Bombardier dan ATR Setelah Korupsi Pesawat Terbongkar
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini