Ia lalu mencontohkan besarnya subsidi energi yang diberikan. Untuk bahan bakar berjenis Pertalite, misalnya, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 4.000 sampai Rp 4.500 yang dikalikan dengan 23 juta kiloliter. Selanjutnya Solar dan Pertamax masing-masing diberikan subsidi Rp 7.800 dan Rp 3.500.
Subsidi ini yang ditalangi oleh Pertamina lebih dulu. "Nanti itung-itungannya diselesaikan setelah audit BPK, bayarnya bisa lebih dari setahun. Namanya kompensasi, bukan subsidi. Dan tidak ada di APBN," ujar Faisal.
Oleh karena itu prestasi pemerintah menekan inflasi selama ini, menurut dia, tidak riil. "Semu belaka, injak kaki."
Jadi, kata Faisal, bila harga pangan terus bergejolak, dampaknya ke rakyat miskin sangat besar. "Dan ini menimbulkan tensi atau gejolak sosial," tuturnya.
Lebih jauh, Faisal menyebutkan bahwa fakta di lapangan yang menunjukkan pengeluaran mayoritas rakyat digunakan untuk membeli kebutuhan pangan. Data Badan Pusat Statistik atau BPS pada Maret 2021 menunjukkan, 80 persen penduduk mengeluarkan biaya yang besar untuk kebutuhan pangan.
Rinciannya adalah pengeluaran 20 persen orang termiskin untuk makan mencapai 64,15 persen. Sedangkan, pengeluaran 20 persen orang terkaya untuk makan berada di 39,22 persen.
Data BPS juga menunjukkan semakin miskin rakyat, maka semakin besar konsumsi pangannya. "Kalau inflasi tinggi, jumlah orang miskin bisa double digit lagi. Padahal Jokowi bercita-cita ingin menghilangkan kemiskinan ekstrem di Indonesia," kata Faisal Basri.
BISNIS
Baca: Jokowi Sentil 2 Menteri karena Tak Jelaskan Minyak Goreng dan Pertamax ke Rakyat
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.