TEMPO.CO, Jakarta -Proyek kilang Trans Pacific Petrochemical Indotama atau kilang TPPI yang semula ditargetkan rampung pada 2022 mundur menjadi 2023. Proyek tersebut tengah mendapatkan banyak sorotan setelah Presiden Joko Widodo sangat tegas meminta untuk percepatan proyek itu.
Progres proyek revamp kilang TPPI dikerjakan melalui dua fase. Adapun pada fase pertama ditargetkan selesai pada akhir tahun 2021, sedangkan fase kedua akan selesai pada 2023.
Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional Ifki Sukarya menjelaskan proyek pengembangan petrokimia di TPPI pada fase pertama yakni pembangunan OSBL atau 5 unit tangki untuk maximized produk paraxylene 600.000 ton yang akan selesai pada akhir Desember 2021.
"Fase 2 upgrading ISBL atau unit proses untuk meningkatkan kapasitas dari 600.000 ton per tahun ke 780.000 ton per tahun yang akan selesai pada medio 2023," katanya kepada Bisnis baru-baru ini.
Sebagai pengolahan petrokimia, kilang TPPI berpotensi menghasilkan produk aromatik, baik para-xylene, ortho-xylene, bensin, toluene, heavy aromatic. Tetapi, juga dapat menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) seperti Premium, Pertamax, elpiji, solar, kerosene.
Optimasi kawasan kilang TPPI akan berpotensi menciptakan penghematan devisa negara hingga US$ 4,9 miliar atau sekitar Rp 56 triliun. Pengelolaan kawasan pabrik Petrokimia TPPI akan berkontribusi menciptakan ketahanan energi melalui substitusi produk petrokimia impor.
Hal tersebut memiliki nilai penting dalam menghadapi tantangan Indonesia selama beberapa dekade terakhir. Selain proyek untuk produk aromatic, terdapat proyek new olefin yang mencakup pembangunan naphtha cracker, termasuk unit-unit downstream dengan produk polyethylene (PE) sebesar 1 juta ton per tahun dan polypropylene (PP) 600.000 ton per tahun yang ditargetkan selesai pada 2025.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyoroti proyek pengolahan petrokimia kilang TPPI yang tak kunjung rampung. Padahal, Jokowi menilai proyek itu dapat menyelesaikan masalah impor produk petrokimia yang selama ini banyak dibutuhkan di dalam negeri.
Jokowi menyebut proyek itu sudah lama terkatung-katung bahkan sejak dirinya baru menjabat sebagai presiden pada periode pertamanya yakni 2014. Sejak saat itu, proyek itu terus mendapatkan perhatiannya dengan harapan bisa segera diselesaikan.
"Saya dilantik saya langsung ke TPPI, setelah saya dilantik 2014 saya langsung ke TPPI, karena saya tahu kalau barang ini bisa jalan itu bisa menyelesaikan banyak hal, itu barang subtitusi impor ada di situ semuanya. Turunan dari ini banyak sekali petrokimia-petrokimia ada di situ," ujar Jokowi saat pengarahan kepada komisaris dan direksi Pertamina dan PLN.
Jokowi menambahkan negara menaruh harapan besar pada proyek kilang petrokimia TPPI untuk bisa menekan impor yang nantinya berujung pada membaiknya neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan Indonesia. Menurutnya banyak produk olahan yang bisa dihasilkan dari proyek itu.
Kementerian Perindustrian mencatat, kebutuhan domestik paraxylene mencapai 1 juta ton per tahun, sedangkan pemasok dari dalam negeri selain TPPI adalah Kilang RU IV Pertamina yang mempunyai kapasitas produksi sekitar 200.000 ton per tahun. Bersama dengan produksi paraxylene Pertamina sebesar 220.000 ton per tahun, total produksi paraxylene dalam negeri menjadi 500.000 ton per tahun.
"TPPI sudah turunannya segitu banyaknya, saya geleng-geleng betul barang kayak gini gak cepat-cepat dijalankan, kalau saya 24 jam penuh saya kerjain agar ini segera jalan Pertamina dapat keuntungan dari situ, negara dapat keuntungan dari subtitusi impornya, kemudian neraca perdagangan kita baik neraca transaksi berjalan kita menjadi baik," ungkap Jokowi.
Baca Juga: Soal Kilang TPPI, Ahok Sebut Pesan Jokowi Sudah Sangat Jelas