Pemerintah berdalih bahwa pembengkakan terjadi sebab faktor seperti pengadaan lahan serta perubahan kondisi geografis dari yang awalnya diperkirakan. Alasan lain yakni pandemi Covid-19 yang menyebabkan anggota konsorsium BUMN Indonesia mengalami kesulitan cashflow.
“Sekilas alasan pemerintah terdengar masuk akal dan bisa dimaklumi. Pendapatan KAI turun drastis sehingga rugi Rp1,7 triliun di tahun 2020. Penggunaan jalan tol milik Jasa Marga tidak optimal. Begitupun kesulitan juga dialami PTPN VIII dan Wijaya Karya,” kata Farouk Alwyni.
Namun, yang belum sempat dijelaskan kepada publik adalah apakah cost overrun ini sudah final atau masih akan membengkak lagi. Jika masih bertambah, maka ruang fiskal akan menyempit. Padahal, masih banyak alokasi belanja yang perlu lebih mendapat perhatian.
Di tengah kondisi keuangan negara yang sedang tidak baik, kata Farouk, semestinya pemerintah lebih fokus pada rencana pemulihan pasca-pandemi. “Persoalan pandemi adalah absolut present. Ia tampak di depan mata dan perlu segera diselesaikan seperti dukungan terhadap UMKM, penyelenggaraan pendidikan, perlindungan sosial, dan tak lupa kesehatan. Inilah soal-soal yang semestinya jadi prioritas,” kata Farouk Alwyni.
Di sisi lain, selain belum jelasnya pembengkakan biaya kereta cepat, belum jelas pula soal kesepakatan utang kepada PT KCIC dalam proyek kereta cepat dari China Development Bank (CDB). Farouk mengatakan, membengkaknya biaya investasi kereta cepat Indonesia-China ini bahkan sudah jauh melampaui dana pembangunan proyek yang sama yang ditawarkan Jepang dahulu.
Sebelum Indonesia resmi bekerja sama dengan Cina, sempat ada negosiasi dengan Jepang pada proyek ini. Waktu itu, kata Farouk, Jepang siap mendanai 75 persen dari biaya senilai US$ 6,2 miliar dengan bunga 0,1 persen per tahun. Bunga ini jauh lebih kecil dibandingkan pihak China yang sebesar 2 persen untuk US$ dan 3,46 persen untuk renminbi.
Adapun Jokowi memilih Cina karena menjanjikan skema business to business, di mana biaya investasi sepenuhnya berasal dari modal anggota konsorsium dan pinjaman, tanpa melibatkan duit APBN sepeser pun.
“Sayangnya skema ini sudah kacau sekarang. Terpaksa APBN kita harus dipakai membiayai proyek-proyek yang semestinya tidak diuntukkan,” tutur Farouk Alwyni.
CAESAR AKBAR
BACA: Beberkan Biaya Kereta Cepat Membengkak, Erick Thohir: Bukan Karena Korupsi