TEMPO.CO, Jakarta - Rakyat Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya Masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat memohon kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui kementerian terkait, untuk meninjau kembali pelaksanaan pengadaan tanah untuk smelter milik perusahaan PT. AMNT. Hal itu karena diduga pengadaan tanah smelter PT. AMNT melanggar aturan presiden.
"Memohon kepada Bapak Presiden RI (Jokowi) melalui kementerian terkait untuk meninjau kembali pelaksanaan pengadaan tanah untuk smelter milik perusahaan PT. AMNT," kata pengacara publik Yan Mangandar Putra dalam keterangan tertulis yang dipublikasi Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram, Kamis, 14 Oktober 2021.
Dia juga mengharapkan kepada Institusi Komnas HAM dan Ombudsman RI agar melakukan pengecekan di lokasi dan bertemu masyarakat yang berhak
terkait adanya dugaan pelanggaran HAM dan cacat administrasi/buruknya
layanan pemerintah dalam pengadaan tanah untuk smelter milik perusahaan PT. AMNT.
Dia menuturkan pada Januari 2019 Pemerintah Daerah Propinsi NTB dan
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) membentuk Tim Percepatan Rencana Pembangunan Smelter dan Industri Turunannya, dengan Gubernur NTB selaku pengarah.
Pada 2018, sebelum terbentuk tim percepatan dan tim appraisal sudah ada kelompok yang terdiri orang tertentu yang bukan dari unsur Tim Percepatan dan Perusahaan yang membeli tanah masyarakat (makelar) yang melakukan pembayaran jual beli tanah masyarakat di bawah tangan dengan kisaran harga Rp 600 ribu sampai dengan Rp 5,5 juta per are, sehingga sebagian kecil masyarakat telah menjual tanahnya.
Selanjutnya pada 2019 Tim Percepatan dan Tim Appraisal melakukan sosialisasi termasuk di Desa Maluk disampaikan bahwa nilai ganti rugi appraisal yang sama dengan nilai ganti rugi makelar sebelumnya.
Namun masyarakat keberatan karena nilai ganti rugi tersebut tidak layak dan tidak adil sehingga enggan melepaskan hak atas tanah yang telah lama menghidupinya terutama masyarakat dari Dusun Otak Kris dan Dusun Bukti Damai yang sebagian besarnya adalah bekerja sebagai petani yang tanah tempat tinggal dan ladang pertaniannya telah ber-Sertifikat Hak Milik.
Dia mengatakan keberadaan tim appraisal sepatutnya selaku pihak ketiga yang independen dan profesional harus lebih dahulu melakukan konsultasi publik baru kemudian menentukan nilai ganti rugi tanah masyarakat sebagai pihak
yang berhak yang akan melepas haknya untuk kepentingan umum kepada instansi yang memerlukan tanah dengan nilai ganti rugi yang layak dan adil.