Data dari International Energy Agency (IEA) di tahun 2018 menyebutkan sumber energi di Uni Eropa sebagian besar masih berasal dari energi fosil. Rinciannya, 30 persen berasal dari minyak, 24 persen gas, 15 persen batu bara, 12 persen nuklir dan 14 persen energi terbarukan. Data ini tidak jauh berbeda untuk tahun 2020.
Petunjuk ketiga, pembangkit batu bara yang selama pandemi sudah dikurangi adalah jawaban yang dicari oleh pelaku bisnis untuk dihidupkan kembali. Selain lebih murah dan sudah terbangun, kata dia, tidaklah sulit untuk mengaktifkan PLTU yang baru sekitar beberapa tahun tidak beroperasi. Dengan asumsi ketersediaan batu bara yang masih banyak dan melimpah, harapannya harga batu bara tidak naik.
Petunjuk keempat, terjadinya perang dagang antara Cina dan Australia yang mengakibatkan suplai batu bara dari Australia ke Cina menjadi terganggu. Dengan kebutuhan energi Cina yang 64 persen berasal dari batu bara, maka Cina akan mencari batu bara dari negara produsen seperti Indonesia dan Rusia.
"Persaingan antara Eropa dan Cina terhadap kebutuhan batu bara disambut oleh negara produsen dengan menaikkan produksi," kata Arcandra. Namun demikian, menaikan produksi batu bara secara cepat bukanlah hal mudah. Selain banyak tambang yang sudah tidak beroperasi selama pandemi, juga investasi di bidang tambang batu bara semakin tidak mendapat tempat.
Kenaikan kebutuhan batu bara yang lebih cepat daripada kemampuan produksi, tutur dia, berakibat fatal terhadap harga. Harapan akan harga batu bara murah meleset. "Justru harganya mencapai puncak di bulan Oktober 2021 dengan future contract menggunakan the benchmark Newcastle sebesar US$ 189 per ton. Rakyat Eropa ikut menanggung harga energi yang tinggi ini," kata Arcandra Tahar.
Baca: John Riady Cerita Panjang Lebar soal Grup Lippo Suntik Dana Hingga ke 40 Startup