Keempat, Didik menyoroti Indonesia punya ketergantungan ekonomi politik terhadap Cina. Setelah CHAFTA, Indonesia menyerahkan pasarnya hanya ke Cina.
Jika negara lain masuk dengan tarif bea masuk, katanya, maka produk Cina bisa masuk dengan nol tarif. Sementara itu, jarak atau gap perdagangan Indonesia dengan Cina dan negara lain mengalami defisit yang cukup jauh.
Apabila defisit perdagangan itu tidak kunjung diselesaikan maka perekonomian nasional Indonesia akan selamanya lemah. Ketergantungan ekonomi sekaligus politik kepada Cina saat ini juga menjadi batu sandungan serius bagi Indonesia dalam merawat hubungan dengan negara-negara lain.
Padahal nilai perdagangan Indonesia telah cukup bagus pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan pada 2011 nilai perdagangan Indonesia tembus mencapai US$200 miliar. Meskipun saat ini ada kenaikan harga komoditas atau commodities boom, tapi upaya-upaya ke arah peningkatan kinerja perdagangan serius dilakukan. Didik menilai tidak ada upaya-upaya tersebut hingga saat ini.
Kelima, Indonesia kehilangan prinsip bebas aktif dalam politik luar negeri. Sayangnya, kelemahan tersebut oleh para anggota parlemen tidak ada yang mengoreksi.
"Kepemimpinan Indonesia di tingkat ASEAN saja saat ini jauh tertinggal jika dibanding misalnya dengan periode Ali Alatas menjadi Menteri Luar Negeri," ungkap Didik dalam diskusi “Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Fondasi Ekonomi & Agenda Pembangunan di Indonesia".
Baca juga: Masalah APBN Sangat Berat, Rektor Paramadina Ingatkan Ancaman Krisis Ekonomi