“Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah,” ucapnya.
KSPI juga memasalahkan hilangnya klausul upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP) karena diduga akan mendorong terjadinya ketidakadilan. Said menekankan, KSPI meminta agar UMK tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak dihilangkan.
Kedua terkait kontrak karyawan. KSPI menyebut UU Cipta Kerja telah menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003. Akibatnya, menurut Said, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT atau karyawan.
Ketiga, KSPI memasalahkan dihapusnya Pasal 64 dan 65 UU Nomor 13 Tahun 2003 di UU Cipta Kerja yang diduga mendorong perusahaan mengontrak pekerja dalam waktu yang panjang. KSPI pun menyoroti dihapusnya batasan lima jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 UU sebelumnya yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, cattering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan.
“Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing,” ucapnya.
Keempat ialah pesangon. UU Cipta Kerja, kata Said, mengurangi nilai pesangon buruh dari 32 bulan upah menjadi 25 upah. “Hal ini jelas merugikan buruh Indonesia karena nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun buruh Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa neagra ASEAN,” kata Said.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA