TEMPO.CO, Jakarta - VP Komunikasi Perusahaan PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman menjelaskan kerugian yang dihadapi perusahaan sepanjang semester pertama tahun 2020. "Pertamina menghadapi triple shock," ujarnya seperti dikutip dari siaran pers, Senin, 24 Agustus 2020.
Fajriyah menjelaskan ketiga syok itu adalah penurunan harga minyak mentah dunia, penurunan konsumsi BBM di dalam negeri, serta pergerakan nilai tukar dolar AS yang berdampak pada selisih kurs yang cukup signifikan. “Pandemi Covid-19 dampaknya sangat signifikan bagi Pertamina," tuturnya.
Dengan penurunan demand, depresiasi rupiah, dan juga crude price yang berfluktuasi sangat tajam, kata Fajriyah, membuat kinerja keuangan Pertamina sangat terdampak.
Menurut Fajriyah, penurunan permintaan terlihat dari konsumsi BBM secara nasional yang sampai Juni 2020 hanya sekitar 117 ribu kilo liter (KL) per hari atau turun 13 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yang tercatat 135 ribu KL per hari. Bahkan pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa kota besar terjadi penurunan permintaan hingga 50-60 persen.
Namun begitu, Fajriyah memastikan seluruh proses bisnis Pertamina berjalan dengan normal. "SPBU tetap beroperasi, pendistribusian BBM dan LPG juga tetap terjaga baik, kami memprioritaskan ketersediaan energi bagi rakyat," ucapnya.
Lebih jauh, ia menyebutkan, Pertamina tetap optimistis hingga akhir tahun akan ada pergerakan positif. Dengan begitu, diproyeksikan laba juga akan positif. "Mengingat perlahan harga minyak dunia sudah mulai naik dan juga konsumsi BBM baik industri maupun ritel juga semakin meningkat," kata Fajriyah.
Walaupun mengalami rugi bersih pada semester I 2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, Pertamina tetap memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat agar pergerakan ekonomi nasional tetap terjaga.
Dalam laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain konsolidasian Pertamina (tidak diaudit) per 30 Juni 2020, terlihat perusahaan merugi US$ 767,92 juta atau sekitar Rp 11,13 triliun. Perhitungan tersebut menggunakan asumsi kurs Rp 14.500 per dolar AS.