TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN, Said Didu, tak sepenuhnya sepakat dengan rencana pemerintah yang akan menyetop impor minyak dan gas (migas) PT Pertamina (Persero). Menurut dia, kebijakan itu akan merugikan masyarakat.
"Jangan teriak setop impor. Enggak bisa. Sama dengan gagal panen, tapi dilarang impor beras. Ya rakyat mati, dong," kata Said saat ditemui seusai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk 'Pertamina Sumber Kekacauan' di Restoran Pulau Dua, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2019.
Rencana setop impor migas menguat setelah Badan Pusat Statistik atau BPS merilis posisi neraca perdagangan sepanjang November 2019. BPS menyebut neraca dagang berada pada posisi defisit US$ 1,33 miliar. Kondisi ini terjadi lantaran adanya defisit di sektor minyak dan gas (migas) sebesar US$ 1,01 miliar dan non migas US$ 300,9 juta.
Bahkan Presiden Jokowi mengaku jengkel dengan orang-orang yang hobi impor minyak dan gas. Sebab, impor minyak dan gas membuat defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan.
"Dikit-dikit impor, dikit-dikit impor. Terutama yang berkaitan dengan energi, barang modal, dan bahan baku," kata Jokowi saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Istana Negara, Jakarta, Senin, 16 Desember 2019.
Jokowi mengatakan, barang modal dan bahan baku tak masalah jika impor, karena bisa dire-ekspor. Namun, ia geram dengan impor di sektor energi. Jokowi menyebutkan bahwa impor minyak saat ini mencapai 700-800 ribu barel per hari.
"Kurang lebih ya. Per hari. Jangan mikir per tahun. Baik itu minyak maupun gas. Juga ada turunan petrokimia. Sehingga membebani, menyebabkan defisit. Itu bertahun-tahun enggak diselesaikan," kata Jokowi.