Lebih jauh Said mengatakan defisit neraca perdagangan karena kesenjangan ekspor dan impor migas terjadi lantaran adanya kegagalan membangun kilang dan diversifikasi energi. Jadi, menurut dia, bukan lantaran negara gencar mengimpor.
Sementara itu, ia meyakini aksi impor wajar terjadi lantaran negara tak punya pasokan BBM yang cukup. Sebenarnya, Said mengimbuhkan, pemerintah sudah lama menggenjot produksi kilang minyak.
Salah satu caranya ialah mengembangkan kilang dengan menggandeng investor asing, seperti Saudi Arabian Oil Co atau Saudi Aramco. "Sewaktu Sudirman Said pimpin Kementerian ESDM, dia diutus menindaklanjuti pembicaraan presiden Jokowi dan Raja Salman di Jakarta yang sepakat dengan Aramco. Lalu disepakati dan ditindaklanjuti," ucapnya.
Namun, kelanjutan kerja sama itu tak jua mencapai kesepakatan karena pemerintah berbelot. Said menduga pemerintah berpaling melirik Rusia sehingga Saudi Aramco kemudian menanamkan investasinya di Malaysia.
"Ini adalah konsistensi. Jangan menjanji-janjikan orang. Pak Sudirman Said di Timur Tengah masih berunding, tapi disuruh pulang dan diganti Rusia. Kesalahan pengambil kebijakan berdampak ke berikutnya, kebetulan orangnya sama," ucap Said.
Aramco dan Pertamina sebelumnya bersepakat menjajaki usaha patungan pada 2014 menggarap kilang Cilacap. Sebelum melanjutkan kerja sama lebih jauh, keduanya lebih dulu menghitung valuasi aset. Namun, bertahun-tahun, perhitungan itu tidak kunjung menemui kesepakatan.
Hingga 2019, keduanya masih berkukuh menggunakan penghitungan valuasinya masing-masing. Rencana perusahaan patungan Pertamina dan Aramco untuk menggarap kilang minyak itu pun tak kunjung menemui kepastian.
FRISKI RIANA