TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan Fachmi Idris membenarkan ada 2.348 perusahaan memanipulasi data. Menurut dia, perusahaan-perusahaan tersebut melaporkan besaran upah karyawan dengan angka yang tidak sesuai fakta sehingga besaran jaminan yang dibayarkan ke BPJS Kesehatan lebih kecil.
"Mereka melaporkan upah yang tidak sesuai. Namun, angkanya cenderung kecil kalau dibndingkan total semua pekerja terdaftar," ujar Fachmi di kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 2 September 2019.
Fachmi memastikan entitasnya sudah menindak oknum-oknum yang melakukan kecurangan. BPJS Kesehatan juga telah meminta ribuan badan hukum itu untuk memperbaiki data.
Bila perusahaan-perusahaan ini menolak, BPJS Kesehatan bakal memberikan sanksi. Kabar soal adanya ribuan badan usaha yang memanipulasi data BPJS Kesehatan ini sempat disinggung oleh politikus Partai NasDem, Ahmad Hatari, dalam rapat bersama antara Komisi IX dan XI kemarin.
Ahmad mengatakan 2.348 badan usaha tidak mendaftarkan gaji karyawan dengan benar. Temuan ini berdasarkan audit dari Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK.
“Hasil audit BPK juga menemukan bahwa 528.120 pekerja belum didaftarkan (jaminan kesehatan) dari 8.314 usaha,” ujarnya.
Kecurangan atau fraud ini menyebabkan BPJS Kesehatan menanggug defisit. Hingga akhir tahun, celah defisit BPJS Kesehatan diprediksi menganga hingga Rp 32,8 triliun. Karena itu, Kementerian Keuangan bakal berencana menaikkan premi iuran sebagai salah satu cara untuk menambal buntung.
Pada rapat sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kenaikan premi akan dilakukan untuk semua jenis iuran, tak terkecuali mandiri. Adapun kenaikan iuran peserta mandiri kelas I dari Rp 80 ribu menjadi 160 ribu. Selanjutnya peserta kelas II dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu. Selanjutnya, iuran kelas III dari 25.500 menjadi Rp 42 ribu per bulan.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas I dan II akan terealisasi pada 1 Januari 2020. Sedangkan kelas III menunggu pemerintah membenahi data kepesertaan.