INFO MPR - Langkah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mewujudkan sistem perencanaan nasional model Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) masih terbentur pada masalah yuridis, apakah dalam bentuk Ketetapan (Tap) MPR atau undang-undang. Namun keputusan mewujudkan GBHN sudah selesai.
“Posisi politik terakhir MPR adalah semua fraksi dan kelompok DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sepakat menghadirkan sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN. Keputusan politik di MPR sudah selesai. MPR sepakat menghadirkan sistem perencanaan pembangunan model GBHN atau apa pun namanya. Tapi masalahnya bagaimana meletakkan haluan negara dalam bentuk yuridisnya. Apakah dalam Ketetapan MPR atau undang-undang,” kata Ketua Badan Pengkajian MPR Bambang Sadono saat memberi pengantar focus group discussion (FGD) bertema “Reformulasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Model GBHN sebagai Haluan Penyelenggara Negara” di ruang GBHN, Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 27 September 2017.
FGD diikuti delegasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), juga Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas). Tampak hadir pimpinan dan anggota Badan Pengkajian, di antaranya Martin Hutabarat (Fraksi Gerindra), Rambe Kamarulzaman (Fraksi Partai Golkar), Mujib Rohmat (Fraksi Partai Golkar), Djoni Rolindrawan (Fraksi Partai Hanura), Okky Asokawati (Fraksi PPP), AM Fatwa (DPD), serta Abdul Wachid (Fraksi Gerindra).
Bambang menjelaskan, Badan Pengkajian MPR juga membahas pilihan haluan jangka panjang melalui Ketetapan MPR. Sedangkan terjemahan haluan negara dalam strategi pembangunan yang berjangka pendek lima tahun atau 10 tahun bisa dalam bentuk undang-undang. “Pilihan itu pun menimbulkan masalah baru. Kalau ingin dalam bentuk Ketetapan, apakah MPR mempunyai kewenangan membuat Tap MPR?,” ucapnya.
Bahkan, dalam diskusi terakhir, lanjut Bambang, langkah terobosan yang bisa dilakukan adalah mencantumkan tugas MPR menetapkan GBHN dalam revisi Undang-Undang MD3 (MPR, DPR,DPD, dan DPRD). “Mumpung sekarang dilakukan revisi Undang-Undang MD3 kita sepakat dalam revisinya agar dicantumkan tugas MPR antara lain menetapkan GBHN. Kalau pasal itu bisa dimasukkan, tidak perlu menunggu amandemen Undang-Undang Dasar. Tapi MPR diberi tugas menetapkan GBHN,” ujarnya.
Selain landasan yuridis, kata Bambang, persoalan lainnya adalah bagaimana isi GBHN. “Bagaimana kita memberi landasan yuridis GBHN ini dalam Tap MPR atau undang-undang kalau bentuk atau isinya saja kita belum tahu. Maka sekarang kita akan mempertanyakan kira-kira apa isi GBHN itu. Apakah bisa dipisah antara isi GBHN jangka panjang 25-50 tahun dalam bentuk Tap MPR dan jangka lebih pendek dalam bentuk undang-undang. Tapi yang terpenting adalah isinya,” tuturnya.
“Lalu, yang membuat GBHN siapa? Kalau haluan negara ditetapkan MPR, itu menjadi wilayah MPR. Apakah MPR akan menunjuk satu tim atau panitia di antara para anggota atau membentuk tim asistensi dengan mengambil para pakar? Mungkin juga diserahkan kepada pemerintah atau tim dari perguruan tinggi. Inilah pilihan-pilihan,” katanya.
Menurut Bambang, pemerintah juga sangat serius menanggapi wacana GBHN ini. Pemerintah telah menunjuk Lemhanas untuk mengkaji wacana ini. Bappenas juga sudah menyiapkan konsep. “FGD ini mensinkronkan untuk menjadi pilihan. Keputusan politik di MPR sudah selesai. Kita sepakat menghadirkan sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN atau apa pun namanya. Yang sekarang perlu dirancang adalah isi GBHN itu,” ucapnya. (*)