Pemerintah Tawarkan Pengelolaan Blok East Natuna ke Investor
Editor
wawan priyanto
Minggu, 30 Juli 2017 13:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah akan menawarkan pengelolaan Blok East Natuna kepada investor. Penawaran itu dilakukan menyusul mundurnya salah satu kontraktor Blok East Natuna, Exxon, dari konsorsium pengelola ladang migas itu yang juga terdiri dari PT Pertamina dan PTT EP (Thailand).
"Kami tawarkan ke siapa pun, ke yang berminat. Siapa pun yang berminat di East Natuna, more than welcome," kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Minggu, 30 Juli 2017.
Exxon merupakan pemegang konsesi Blok East Natuna sejak bernama Natuna D-Alpha pada 1980. Namun, Exxon menggembalikan kontrak pengelolaan ladang migas tersebut pada 2007. Pemerintah pun menugaskan PT Pertamina mengelola Blok East Natuna yang berada di Laut Cina Selatan itu.
Baca: Exxon Mundur dari Konsorsium Blok East Natuna
Pada 2011, Pertamina menyepakati kesepakatan prinsip untuk membagi East Natuna kepada Exxon, Total, dan Petronas. Konsorsium bertugas mengkaji nilai keekonomian pengeboran Blok East Natuna. Pada 2016, konsorsium menciut menjadi Pertamina, Exxon, dan PTT EP.
Pada pertengahan Juli lalu, saat kajian tersebut rampung, Exxon keluar dari konsorsium. Vice President of Public and Government Affairs Exxon Erwin Maryoto pun membenarkan perusahaannya tidak ingin melanjutkan aktivitas untuk pengelolaan Blok East Natuna.
Simak: Penjelasan ExxonMobil Mundur dari Konsorsium Gas Natuna
Sebenarnya, cadangan minyak di Blok East Natuna mencapai 318 juta standar tangki barel (mmstb). Potensi gasnya pun menyentuh 222 triliun kaki kubik (TCF). Tapi, gas di Blok East Natuna sulit dikembangkan karena kandungan karbon dioksidanya terhitung tinggi, yaitu 72 persen.
Menurut Arcandra, tidak hanya Exxon yang memiliki teknologi untuk mengembangkan gas di Blok East Natuna. "Ada beberapa perusahaan. Tapi sekarang, siapa yang bisa menyediakan teknologi yang lebih murah. Kalau teknologinya mahal, tidak bisa di-develop karena 72 persen itu besar sekali."
ANGELINA ANJAR SAWITRI