Masalah Bungkus Rokok, Australia Jatuhkan Denda ke Phillip Morris
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat tnr
Selasa, 11 Juli 2017 07:08 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Australia mengenakan denda terhadap perusahaan produk tembakau terbesar di dunia, Phillip Morris. Kantor berita BBC mengabarkan, denda ini merupakan buntut kekalahan Phillip Morris, yang menggugat pemerintah Australia atas aturan penyeragaman bungkus rokok (plain package) yang berlaku sejak 2012.
Gugatan tersebut dilayangkan Phillip Morris Asia Limited bersama produsen lainnya, seperti Imperial Tobacco dan Japan Tobacco, ke pengadilan arbitrase internasional pada 2011. Mereka memprotes aturan pemerintah Australia yang mewajibkan semua merek rokok memakai bungkus yang sama dan disertai gambar dampak buruk rokok pada kesehatan.
“Aturan ini diterbitkan untuk mereduksi jumlah perokok, khususnya yang masih berusia belia,” kutip Koran Tempo edisi Selasa 11 Juli 2017.
Simak: Perokok Belia, Tanya Kenapa?
Namun pengadilan arbitrase menganulir gugatan produsen rokok tersebut. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pun belakangan memutuskan bahwa aturan pemerintah Australia bisa diterima sebagai upaya mendorong kesehatan masyarakat serta bisa diadopsi secara internasional. Perusahaan rokok pun tersandung karena dituntut membayar biaya hukum yang dikeluarkan pemerintah Australia saat menghadapi gugatan mereka. Harian Sydney Morning Herald menyebutkan nilai denda bisa mencapai A$ 50 juta (US$ 38 juta) atau sekitar Rp 509 miliar.
Manajemen Philip Morris kini menuding klaim biaya hukum dari pemerintah Australia tidak masuk akal. Mereka membandingkan masalah ini dengan kasus serupa yang terjadi di Kanada, di mana nilai klaimnya sekitar US$ 3-4,5 juta.
Selain Phillip Morris, lima negara, yakni Indonesia, Honduras, Republik Dominika, Ukraina, dan Kuba, mengadukan soal regulasi bungkus rokok di Australia ke forum WTO. Lima negara produsen rokok ini menganggap Australia melanggar tiga ketentuan WTO, yakni prosedur penyelesaian sengketa, perjanjian dagang dan aspek kekayaan intelektual, serta persetujuan mengenai hambatan perdagangan.
FERY FIRMANSYAH