TEMPO.CO, Semarang - Deputi Bidang Akses dan Permodalan, Badan Ekonomi Kreatif, Fadjar Hutomo menyatakan, banyak lembaga keuangan belum memahami investasi di sektor ekonomi kreatif.
Pemerintah lantas mengeluarkan program Bekraf Gelar Bekraf Financial Club sebagai forum diskusi antara bank dan pelaku terkait pola pembiayaan. Fungsi program itu adalah memfasilitasi pelaku industri kreatif berbicara di depan lembaga keuangan agar mereka paham bagimana investasi di sektor ini.
"Kekayaan intelektual tak bisa dipegang, tapi karyanya bisa dinikmati dalam bentuk karya," kata Fadjar dalam pidatonya di acara Sharia For Creative Business Matching, di Semarang, Kamis, 11 Mei 2017.
Baca: Hak Paten dan Hak Atas Kekayaan Intelektual
Menurut Fadjar, karya intelektual yang non material itu masih belum "nyambung" dengan pihak perbankan yang masih mengandalkan pola tengible atau harus kelihatan dalam menjaminkan investasi. Padahal, hak paten adalah aset utama industri kreatif. “Kadang bank masi tanya jaminan mana, tanah mana, sertifikat BPKB mana.”
Di sisi lain, kepemilikakan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bagi para pelaku industri kreatif masih rendah. Data survei yang fadjar lakukan pada akhir 2016 menunjukkan, kepemilikan HAKI para pelaku industri kreatif secara nasional hanya 11 persen. “IP (intellectual property) kita hanya 11 persen, itu sedikit,” ucap Fadjar.
Lihat juga: Jumlah Hak Paten Peneliti Indonesia Masih Minim
Maka dia berharap kepemilikan HAKI atau hak paten atas karya dan produk industri kreatif ditingkatkan. Hak paten akan iimbangi dengan penguatan pasar, modal, dan penilaian harga sebuah produk yang dibuat. “Kami terus mendorong kami juga mengendors, intellectual propperty finanching, ini tak gampang karena infra struktur belum siap,” tutur Fadjar.
Kepala Biro Perekonomian Sekretrais Daerah Jawa Tengah Budiyanto Eko Purwono mengatakan, keberadaan hak paten atas produk itu penting untuk memperkenalkan karya lokal ke negara lain. Tak jarang industri kreatif di daerah mampu bersaing dengan industri nasional meski kondisinya masi setara industri rumahan. “Buktinya sejumlah produk lokal asal Jateng telah diakui dunia,” kata Budiyanto.
Tercatat hasil industri kreatif di Jateng yang telah mendunia meliputi rambut palsu, bulu mata palsu, knalpot dan bahan baku radio dari kayu untuk industri elektronik negara Jepang. Rambut dan bulu mata digunakan oleh artis Hollywood sedangkan knalpot digunakan untuk mobil Mercedes Benz. Kedua produk yang awalnya industri rumahan tersebut menjadi penyuplai utama di sejumlah negara asing. “Jangan dikira itu yang bikin mereka, itu suplai dari kita,” kata Budiyanto.
Budiyanto menilai karya daerah itu bagian dari kerja keras dan semangat pantang menyerah dari para pengusaha. Ia berharap para pelaku usaha kreatif mampu menjaga dan meningkatkan kualitas produk Budiyantoi melihat, kelemahan pengusaha nasional di antaranya tak konsisten menjaga kualitas produk, termasuk kaitannya dengan pasar.
EDI FAISOL