Percepatan Ketimpangan Indonesia Paling Tinggi
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat tnr
Jumat, 5 Mei 2017 10:38 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketimpangan ekonomi Indonesia masih mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir.
Koordinator Kelompok Kerja Kebijakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Elan Satriawan, mengatakan pertumbuhan tingkat ketimpangan Indonesia lebih kencang dibanding negara-negara di kawasan Asia Timur.
Aset orang-orang kaya berkembang lebih cepat ketimbang pertumbuhan ekonomi masyarakat miskin. "Nature ketimpangan yang mengkhawatirkan adalah pertumbuhan Gini ratio itu," kata Elan saat berbicara dalam diskusi di kantor Tempo, Kamis, 4 Mei 2017.
Baca: Sri Mulyani Bicara Soal Ketimpangan Ekonomi
Rasio Gini nasional per September 2016 tercatat sebesar 0,397 persen. Menurut Elan, selain karena tingginya konsentrasi kekayaan di kelompok masyarakat teratas, ketimpangan terjadi lantaran adanya pembangunan infrastruktur dasar, seperti air bersih, sanitasi, dan listrik. Ketimpangan juga terlihat dari rendahnya kemampuan masyarakat menghadapi guncangan ekonomi, seperti inflasi.
Baca: Ketimpangan di Indonesia Masih Lebar, Ini Penjelasan Mensos
Jumlah kelompok masyarakat miskin yang rentan terhadap guncangan ekonomi mencapai 40 persen dari populasi penduduk Indonesia. Jika garis kemiskinan naik 5 persen, jumlah penduduk miskin akan bertambah 5,5 juta jiwa. Angka kemiskinan per Maret 2015 mencapai 11,22 persen.
Karena itu, pengendalian inflasi nasional penting untuk menekan potensi tersebut. Elan mencontohkan, setiap kenaikan harga beras sebesar 10 persen dapat menambah 330 ribu orang miskin. "Karena itu, yang utama adalah memastikan rantai tata niaga lebih efisien dengan infrastruktur desa," katanya.
Kepala Ekonom Bank Dunia Vivi Alatas berpendapat ketimpangan dapat diatasi dengan pemerataan kualitas pendidikan. "Berdasarkan studi OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development), kalau Indonesia bisa mengatasi ketimpangan kualitas pendidikan, dampaknya bisa 10 kali lebih baik dibanding bila uangnya digunakan untuk mengatasi ketimpangan akses.”
Selain itu, pemerintah dapat memastikan pemerataan ekonomi dengan pengelolaan fiskal yang efektif. Vivi mengatakan penciptaan lapangan kerja seharusnya diikuti dengan pembenahan regulasi ketenagakerjaan, seperti pesangon. Ia mengungkapkan, 85 persen pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja tak mendapat pesangon.
Adapun ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan lapangan kerja dapat diciptakan dengan menggenjot industri manufaktur. Ia menilai pemerintah selama ini terlalu berfokus pada pertumbuhan industri sektor jasa. "Ekspor manufaktur cuma 40 persen, jadinya hanya bandar dan konglomerat yang untung."
VINDRY FLORENTIN | PUTRI ADITYOWATI