Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan) memeriksa surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak penghasilan tahunan tahun pajak 2015 di Gedung Wisma Kalla, Makassar, 4 Maret 2016. TEMPO/Fahmi Ali
TEMPO.CO, Jakarta - Agustus tahun lalu, Presiden Joko Widodo meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan. Tujuannya, menjaga nilai kompetitif investasi dalam negeri. Begitu juga dengan PPh perorangan yang diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Revisi sejumlah undang-undang perpajakan diprediksi tak akan rampung pada tahun depan. Tahun ini juga, kata Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Andreas Eddy Susetyo, wacana pemerintah menurunkan tarif PPh yang sekaligus menjadi rangkaian reformasi perpajakan melalui instrumen undang-undang tak akan terealisasi.
“Tahun ini sudah pemanasan pemilu, tahun depan anggota Dewan pasti akan fokus di daerah pemilihan masing-masing,” kata dia, Selasa, 7 Februari 2017.
Revisi Undang-Undang PPh merupakan satu dari rentetan agenda revisi Undang-Undang Perpajakan. Selain PPh, KUP, PNBP, dan pajak pertambahan nilai (PPN), pemerintah bersama parlemen berencana merevisi Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Pemerintah mewacanakan penurunan tarif PPh untuk meningkatkan daya saing dalam negeri di tengah persaingan global. PPh badan, misalnya, saat ini bertarif 25 persen, memiliki selisih 8 persen dari tarif di Singapura.
Berikut ini gambaran tarif PPh dalam negeri dan perbandingan dengan negara-negara lain.
Indonesia PPh badan: 25 persen PPh perorangan: Penghasilan Rp 36–50 juta: 5 persen Penghasilan Rp 50–250 juta: 15 persen Penghasilan Rp 250–500 juta: 25 persen Penghasilan lebih dari Rp 500 juta: 30 persen
Negara dengan tarif tertinggi Denmark: 55,56 persen Spanyol: 52 persen Jepang: 50,84 persen Portugal: 48 persen Inggris: 45 persen Papua Nugini: 42 persen
Negara-negara bebas PPh Bahrain Brunei Kuwait Oman Qatar Arab Saudi Negara Persatuan Arab