Direktorat Jenderal Pajak: Tak Etis Perusahaan Raksasa Tak Bayar Pajak
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat tnr
Kamis, 19 Januari 2017 20:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv berujar, Google harus menyadari bahwa pihaknya wajib membayar pajak dengan besarnya penghasilannya di Indonesia. "Etikanya begitu," ucapnya di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Kamis, 19 Januari 2017.
Haniv menyatakan persoalan pajak Google merupakan masalah keadilan dan etika. "Entitas dari luar negeri, kalau mau berbisnis di negara lain, kalau dia hanya ingin memperoleh penghasilan tanpa bayar pajak, itu tidak etis. Ini kan perusahaan raksasa. Dia harus pahami ini," ujarnya.
Baca: Janji Ditjen Pajak Bila Google Mau Serahkan Data
Saat ini, tutur Haniv, seluruh dunia menggugat Google. Karena itu, Google mesti memahami, seluruh dunia mulai sadar bahwa pajak yang disetorkan Google tidak sebanding dengan penghasilan yang didapatkannya. "Ini namanya aggressive tax planning. Dalam beberapa aturan di dunia, ini ilegal."
Haniv mengatakan pemerintah perlu segera membuat regulasi mengenai perusahaan-perusahaan over the top (OTT) yang serupa dengan Google. "Kita bisa buat aturan sesuai dengan aturan Kementerian Komunikasi dan Informatika, baru kita eksekusi berapa pajak yang mau dibayar," ujarnya.
Namun, selama aturan tersebut belum dibuat, Direktorat akan memakai prinsip keadilan untuk mengenakan pajak kepada perusahaan-perusahaan OTT. "Kalau suatu entitas memperoleh penghasilan yang sangat besar dari Indonesia tanpa adanya pembayaran pajak sedikit pun, itu tidak adil," ucapnya.
Baca: Kenapa Ditjen Pajak Panggil Google Sore Ini?
Menurut Haniv, terdapat aturan yang mengharuskan Google membayar pajak, yakni Undang-Undang Pajak Penghasilan terkait dengan subyek pajak bentuk usaha tetap (BUT). Dengan memiliki server di Indonesia, kata Haniv, Google termasuk BUT yang wajib membayar pajak.
Google menolak menjadi BUT karena, berdasarkan aturan di Korea Selatan, adanya server tidak menunjukkan perusahaan tersebut merupakan BUT. "Ini Indonesia. Kita ada aturan sendiri. Kalau di kita, diatur bahwa server bisa jadi BUT," ujar Haniv.
ANGELINA ANJAR SAWITRI