Luhut Wacanakan Relaksasi Ekspor Mineral, Smelter Menjerit
Editor
Yudono Yanuar Akhmadi
Kamis, 8 September 2016 23:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengusaha smelter (fasilitas pemurnian mineral) menolak rencana pemerintah melonggarkan ekspor mineral mentah. Sebanyak 21 perusahaan smelter yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia cemas pelonggaran kebijakan ekspor akan mengganggu kelangsungan investasi yang sudah menyedot US$ 12 miliar (Rp 156,8 triliun).
”Kami menolak relaksasi ekspor karena bertentangan dengan Undang-Undang Minerba dan peraturan yang berlaku,” kata Ketua Asosiasi Industri Pengolahan, Prihadi Santoso, Rabu, 7 September 2016. Menurut dia, jika ekspor mineral mentah dilonggarkan, komitmen pemerintah terhadap hilirisasi mineral bakal dipertanyakan masyarakat.
Prihadi juga khawatir pelonggaran ekspor mineral mentah akan mengganggu pasokan bahan baku bagi pabrik smelter dalam negeri yang telah berdiri dan beroperasi. “Kalaupun ada pasokan, pelonggaran ekspor mineral mentah akan membuat harga bahan baku pabrik menjadi lebih mahal.”
Dikatakan Prihadi, sejak 2012 hingga 2016, telah ada 27 pabrik smelter di Indonesia dengan nilai investasi US$ 12 miliar. "Sekarang semuanya terancam, terutama untuk smelter-smelter yang tidak punya kawasan tambang."
Komitmen pemerintah melakukan hilirisasi mineral diatur melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Selain itu, Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan komitmen soal keberlanjutan upaya hilirisasi saat peresmian pabrik feronikel PT Sulawesi Mining Investment pada Mei 2016.
BACA: Keputusan Politik DiperlukanSebelum 2017
Asosiasi, tutur Prihadi, memberikan alternatif bagi pemerintah. Di antaranya dengan menetapkan harga acuan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan industri smelter. Tapi, jika desakan supaya pemerintah memberikan kelonggaran ekspor karena alasan finansial begitu kuat, dia menyarankan agar relaksasi dilakukan dengan sejumlah syarat.
“Misalnya, kewajiban pembangunan smelter tetap berjalan, pengenaan tambahan bea keluar, serta memiliki kuota dan jangka waktu tertentu," kata Prihadi.
Wacana relaksasi ekspor mineral disampaikan oleh pelaksana tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Pandjaitan. Seharusnya, berdasarkan Undang-Undang Minerba, mulai 2014 ekspor mineral mentah dilarang untuk mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri.
Namun pemerintah memberikan kelonggaran atau relaksasi kepada perusahaan-perusahaan yang berkomitmen membangun smelter. Relaksasi diberikan hingga 2017 dengan syarat pembangunan smelter harus selesai. Hanya, hingga menjelang berakhirnya relaksasi pada Januari 2017, masih banyak yang belum menyelesaikan pembangunan smelter, termasuk PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.
Luhut menegaskan, revisi UU Minerba ditujukan untuk kepentingan semua perusahaan tambang. ”Jadi, jangan berpikir ini dibikin hanya untuk Freeport atau Newmont,” kata dia, Selasa, 6 Sepetmber 2016. Ia mengatakan perusahaan yang baru menyelesaikan 30-40 persen pembangunan smelter juga akan diakomodasi.
Dia menyampaikan bahwa pemerintah dan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat bersepakat menyelesaikan revisi UU Minerba serta RUU Minyak dan Gas Bumi pada tahun ini. "Bahkan telah masuk dalam daftar program legislasi nasional atas inisiatif DPR," ucap Luhut.
PINGIT ARIA | VINDRY FLORENTIN