Pengerajin menata wayang golek saat berlangsungnya Pameran Interior dan Craft 2015 di JCC, Jakarta, 11 Juni 2105. Jumlah penduduk Indonesia baru sekitar 1,65 persen menjadi wirausaha, lebih kecil dibanding dari negara tetangga Malaysia 5 persen dan Singapura sebanyak 7 persen. Tempo/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Bank Dunia, Vivi Alatas, mengatakan produktivitas perusahaan kecil 28 persen lebih rendah daripada perusahaan besar. "Sehingga tidak banyak perusahaan kecil yang bisa naik kelas menjadi besar," ucapnya dalam acara Akhiri Ketimpangan untuk Indonesia di Djakarta Theatre, Jakarta Pusat, Selasa, 8 Desember 2015.
Menurut dia, pengusaha kecil membutuhkan sumber daya untuk melakukan ekspansi dan inovasi. "Namun 50 persen pengusaha kecil-menengah mengaku akses modal adalah kendala terbesar," ujar Vivi.
Ia mengatakan mereka juga terkendala dalam berbisnis. Menurut dia, di Indonesia dibutuhkan waktu 45 hari untuk membuka bisnis. "Bandingkan dengan hanya tiga hari di Singapura dan 29 hari di Thailand," tutur Vivi.
Vivi menjelaskan, ada ketimpangan antara perusahaan besar dan kecil. Terdapat 57 juta usaha kecil-menengah di Indonesia. UKM ini adalah tulang punggung perekonomian di Indonesia. "Sebanyak 93 persen usaha di Indonesia adalah UKM. Sekitar 96 persen lapangan pekerjaan dari UKM, dan 58 persen PDB (produk domestik bruto) berasal dari UKM," ucapnya.
Peraturan ketenagakerjaan di Indonesia, menurut Vivi, sangat kaku. Tingkat kepatuhan ketenagakerjaan di Indonesia, ujar dia, nomor 2 di Asia-Pasifik. Namun, di sisi lain, implementasinya bermasalah. Yakni hanya 30 persen pekerja yang memiliki kontrak dan hanya 5 persen pekerja yang tercakupi dalam perjanjian kerja bersama.
"Ini menciptakan situasi yang sama-sama sulit. Pengusaha kesulitan untuk berkembang, pekerja tidak terlindungi, dan pencari kerja sulit mencari kerja," ucap Vivi.