Aktivitas bongkar muat timah di pelabuhan sunda kelapa, Jakarta. TEMPO/Dasril Roszandi
TEMPO.CO, Jakarta - Anjloknya harga timah dunia yang menembus US$ 16.400 per ton pada 2 April 2015, atau terendah sejak 2009, ditengarai karena maraknya ekspor ilegal timah dari Provinsi Bangka Belitung. Data International Tin Research Institute (ITRI) menyebutkan timah mentah dikeruk dari perut Bangka Belitung sebanyak 471 ribu ton sepanjang 2009-2013. Volume ini terbesar kedua setelah Cina, 482 ribu ton.
Masalahnya, timah itu diduga diekspor secara ilegal. Masih berdasarkan data ITRI, kendati memproduksi timah mentah nomor dunia di dunia, namun volume timah batangan atau ingit jauh di bawah volume timah mentah. Dari 471 ribu ton timah mentah yang dikeruk di Indonesia, produksi timah batangan hanya mencapai 280 ribu ton sepanjang 2009-2013.
Bandingkan dengan produksi timah mentah Malaysia 15 ribu ton dan Thailand 1.100 ton tetapi produksi timah batangannya 185 ribu ton dan 109 ribu ton sepanjang 2009-2013. Mantan Komisaris PT Timah Tbk, Komisaris Jenderal Purnawirawan Polisi Insmerda Lebang mencurigai besarnya volume timah batangan di kedua negara tetangga itu berasal dari pasokan timah Bangka Belitung. "Masuk lewat ekspor ilegal," katanya kepada Tempo Selasa 31 Maret 2015.
Modus ekspor timah ilegal beragam. Ketua Umum Asosiasi Solder Indonesia Lay Rusli Mulyadi mengatakan sebelumnya timah batangan ilegal diekspor dengan modus memanfaatkan celah pada aturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 Tahun 2014. Isinya timah non-batangan masih bisa diekspor tanpa melalui Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI). Eksportir nakal itu mengirim timahnya dengan menyebut sebagai timah solder. Jenis ini termasuk timah non-batangan.
Namun seiring akan direvisinya Peraturan Menteri Perdagangan tersebut yang memerintahkan transaksi semua jenis timah harus melalui BKDI. Kabar revisi tersebut membuat para eksportir nakal mengubah modus pengiriman timah. "Modusnya mereka mengirim timah lewat izin perdagangan antarpulau, dikirim ke Cilegon (Banten) atau Cikarang (Bekasi). Realitasnya timah itu hilang di Tanjung Priok, diekspor ke luar negeri," katanya kepada Tempo Kamis 2 April 2015.
Pengiriman antar pulau ini sudah berlangsung lama. Sebelumnya, barang yang dikirim hanya sebesar belasan ton. Namun karena modus mengekspor dengan cara mencetak timah sebagai timah solder semakin sulit, pengusaha ini mengirim timah batangan antar pulau dalam jumlah ratusan ton. "Intensitasnya semakin sering," katanya.
Timah batangan itu diduga diekspor ke Thailand dan Malaysia. Insmerda Lebang mengatakan akibat praktek ini membuat produksi timah batangan Indonesia selalu lebih rendah ketimbang timah mentahnya. Sebaliknya dua negara tetangga, kendati produksi timah mentahnya kecil, namun bisa memproduksi timah batangan lebih besar. "Inilah yang membuat Indonesia tidak bisa menentukan harga timah dunia."