Ratusan nelayan asing menunggu untuk dipulangkan kenegara asalnya di perusahaan perikanan Pusaka Benjina Resources di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, 3 April 2015. Nelayan asing yang bekerja di perusahaan oerikanan tersebut berasal dari Myanmar dan Thailand. AP Photo
TEMPO.CO, Benjina - Tim Satuan Tugas Anti illegal fishing telah menganalisis kapal-kapal eks asing serta anak buah kapal dari PT Pusaka Benjina Resource.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Asep Burhanudin, menemukan indikasi praktek perbudakan. "Ada perlakuan diskriminatif yang melanggar hak asasi manusia," ujar Asep pada Jumat, 3 April 2015.
Bukti diskriminasi tersebut, kata Asep,muncul dari pengakuan ABK asal Indonesia yang mengatakan gajinya tidak dibayarkan secara penuh.
ABK Indonesia, kata Asep, hanya digaji Rp 1,5 juta setiap kali berlayar. Satu kali berlayar bisa mencapai dua hingga tiga bulan. "Seharusnya mereka digaji Rp 3 juta tapi gajinya dipotong setengah," ujar Asep.
Adapun ABK asal Myanmar, menurut Asep, paling banyak mendapatkan perlakuan buruk. Sebab, banyak ABK Myanmar yang digaji hanya Rp 1 juta. Sedangkan ABK asal Thailand digaji Rp 5 juta.
Selain itu, Asep juga mengungkapkan ada ABK Myanmar yang disiksa oleh tekong atau nahkoda kapal. "Kalau ketiduran dipukulin, ada juga yang disetrum," ujar Asep. Mayoritas yang mendapatkan perlakukan tidak manusiawi adalah ABK asal Myanmar.
Perlakuan tersebut biasanya dilakukan para tekong karena ABK tidak mau menuruti perintah tekong untuk mengangkut ikan dari kapal ke cold storage.
Padahal, ABK merupakan anak buah kapal yang bertugas di laut. Namun, PT PBR tak punya karyawan yang bekerja di daratan, sehingga membuat ABK bekerja ekstra.