Uang BLSM sebesar 300 ribu yang diterima oleh warga saat dibagikan di kantor Pos Muara Angke, Jakarta Utara, (24/6). Menurut data yang diriis LSI sekitar 70 persen responden meragukan ketepatan sasaran penyaluran BLSM sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pengalokasian uang risiko sosial senilai Rp 5 triliun jika opsi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi diambil dinilai tidak efektif. Hal itu tidak akan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Menurut pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, lebih baik uang tersebut dialokasikan menjadi subsidi pangan. "Setiap kenaikan BBM, sangat berpengaruh ke pangan," ujarnya ketika dihubungi Tempo, Jumat, 29 Agustus 2014. (Baca: Anggaran Dipotong, Rakyat Miskin Terancam)
Selain itu, Lana melanjutkan, jika tak bisa diberikan dalam bentuk subsidi program, pemerintah mendatang lebih baik menyiapkan suatu program berkelanjutan. Program itu diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
“Pemberian uang langsung ke masyarakat sudah pernah dilakukan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Tak tepat sasaran, dan Rp 300 ribu tidak banyak menolong mereka," katanya. (Baca: Data Terhapus, Warga Kepulauan Batal Dapat BLSM)
Menurut tim ekonomi presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla, Hendrawan Supratikno, pemberian uang langsung kepada masyarakat langsung memang tidak mendidik. "Kami sedang menyiapkan program untuk membuka lapangan pekerjaan," katanya.
Adapun pengamat ekonomi Destry Damayanti menyarankan agar uang itu lebih baik diberikan untuk kerja nyata masyarakat bawah. "Pemerintah bisa membuat sarana irigasi, pendidikan, pelatihan," ujarnya.